Perlukah KJPP Banting Harga untuk Mendapatkan Pekerjaan Penilaian?
Jakarta – Pertanyaan menggelitik ini dilontarkan oleh Ketua Ikatan Kantor Jasa Penilai Publik (IKJPP), Abdullah Fitriantoro saat sesi panel webinar Refleksi dan Resolusi MAPPI dalam Akselerasi dan Harmonisasi Kebijakan Organisasi pada Rabu lalu. Ia menyoroti kondisi turunnya pendapatan KJPP pada tahun 2024 silam sehingga hal tersebut layak untuk dijadikan bahan refleksi bersama.
Menurut analisanya, penurunan pendapatan ini terjadi karena dua faktor. Pertama karena penurunan jumlah pekerjaan penilaian dan kedua penurunan fee dan kompetisi bisnis jasa penilaian yang kurang sehat.
“Ini perlu penanganan cepat, kerja sama antarpengurus dengan angggota sehingga marwah Profesi Penilai meningkat dan mulia kembali di mata stakeholders,” tegas Abdullah.
Kedua faktor penyebab turunnya pekerjaan penilaian itu, sambungnya, saling berkaitan. Lantaran jarang ada pekerjaan, maka orang akan cenderung banting harga atas jasanya agar tetap mendapatkan pekerjaan tersebut dengan harapan setidaknya operasional di KJPP tetap berjalan.
Kendati menguntungkan dalam jangka waktu pendek, tetapi menurunkan harga jasa penilaian dengan tujuan untuk mendapatkan pekerjaan ini membawa dampak negatif yang signifikan terhadap keberlangsungan usaha sebuah KJPP.
Penurunkan fee, sambung Abdullah, akan menurunkan cost/biaya. Ketika cost turun maka akan berdampak pada kualitas pelayanan. Profit yang didapat pun jadi turun dan berakibat pada tidak berkembangnya KJPP sehingga tidak bisa memberikan fasilitas pendidikan kepada karyawan.
“Kalau hal seperti ini terus terjadi, maka lama-lama akan terbentuk pasar baru dengan harga yang baru. Klien kita akan beranggapan tahun lalu kalian bisa kok sekarang tidak mau?” ungkapnya.
Fokus pekerjaan penilaian pun bukan lagi tentang kualitas layanan kepada klien, tetapi bergeser pada efisiensi biaya. Apabila hal ini terjadi, maka klien akan melirik ke KJPP lain yang memberikan kualitas layanan lebih baik.
Akibat lain dari penurunan fee adalah devaluasi Profesi Penilai yang menimbulkan persepsi negatif di pasar. Profesi Penilai menjadi bernilai rendah lantaran penyedia jasa penilaian ramai-ramai membanting harga untuk mendapatkan proyek. Tarif jasa menjadi tidak kompetitif secara sehat karena standar pasar menurun. Market juga berpandangan bahwa para Penilai bisa melaksanakan pekerjaan dengan tarif yang tidak standar.
“Jika KJPP terus mengandalkan proyek dengan fee rendah, maka akan mengganggu arus kas terutama untuk mendanai operasi harian. Kepercayaan terhadap kemampuan dan profesionalisme KJPP juga terganggu,” ujar Abdullah Fitriantoro yang akrab disapa Pak Toyo ini.
Penentuan Billing Rate dan Transparansi
Abdullah menyebut setidaknya ada dua komponen untuk mereduksi kecenderungan penurunan fee jasa penilaian. Kedua komponen itu adalah penentuan billing rate dengan benar dan transparansi.
Dalam presentasinya, ia menyebut bahwa penerapan billing rate jadi sangat penting dalam penentuan imbalan jasa KJPP. Billing rate adalah komponen penting yang berbasis dari pasar dan dapat dipertanggungjawabkan. Unsur dasar pembentuk billing rate antara lain meliputi gaji dasar, beban biaya sosial, beban biaya umum dan keuntungan bagi badan usaha penyedia jasa.
Namun Abdullah juga menambahkan biaya antisipasi masalah hukum ke dalam billing rate sebab apabila sebuah KJPP menghadapi perkara hukum maka otomatis akan timbul suatu biaya. “Biaya menyelesaikan perkara hukum itu tinggi. Dan itu harus kita cadangkan.”
Ia menambahkan bahwa billing rate yang dikenakan oleh penyedia jasa terhadap pengguna jasa sangat dipengaruhi oleh faktor kualifikasi dan kompetensi tenaga ahli, keseimbangan tingkat pasokan dan permintaan untuk posisi tersebut serta kompleksitas proyek.
Apabila KJPP memberikan fee murah, maka misalnya saat melakukan penilaian pabrik kemungkinan hanya akan menugaskan 1 orang untuk menilai tanah, bangunan sekaligus mesinnya. Karena murahnya fee, maka semua kualitas pekerjaan baik dalam jumlah rupiah, hari serta tenaga ahli juga diturunkan.
Selain itu KJPP yang menetapkan billing rate yang realistis juga membantu menjaga standar profesionalisme dan kualitas kerja karena berperan untuk mencegah perang harga yang tidak sehat. “Perang diskon ini memaksa Penilai bekerja secara tidak optimal dengan biaya yang tidak tercukupi. Sementara dari sisi klien, mereka akan mendapatkan pelayanan yang rendah akibat sumber daya yang terbatas karena pengerjaannya terburu-buru,” ungkap Abdullah.
Billing rate yang sehat juga akan menciptakan kompetisi berdasarkan nilai tambah dan kualitas layanan, sehingga parameternya bukan sekadar penawaran dengan harga terendah.
Biiling rate yang transparan dan sesuai standar juga dapat membantu klien mengefisiensikan dan merencanakan anggaran secara lebih baik, sehingga klien dapat menakar apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diterima.
Dengan adanya transparansi, sambung Abdullah, maka akan meningkatkan kepercayaan antara konsultan dan klien serta mempermudah klien dalam membandingkan layanan yang ditawarkan oleh KJPP lain.
“Misalnya suatu Pemda tidak tahu billing rate kita. Lalu mereka menganggarkan proyek dengan biaya yang rendah dan KJPP tidak ada yang mau ambil. Padahal proyek itu penting buat mereka untuk dilaksanakan pada tahun berjalan,” paparnya.
Abdullah menyimpulkan bahwa billing rate yang dihitung dengan tepat akan menciptakan iklim usaha yang sehat. Imbasnya bukan hanya melindungi KJPP dari kerugian finansial tapi juga memberikan rasa keadilan kepada klien. Adanya transparansi juga akan mendorong KJPP berkompetisi secara sehat dengan basis kualitas. (fas)
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi