Ini Kunci Agar Profesi Penilai di Indonesia Semakin Diakui Dunia
Jakarta – Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2009-2014 yang sekaligus Chair of International Valuation Standards Council Asia Committee (Ketua Komite IVSC Asia), Dr. (H.C) Rd. Mohammad Marty Muliana Natalegawa, B.Sc., M.Phil., Ph.D. mengungkapkan beberapa hal yang dapat dilakukan agar Profesi Penilai di Indonesia semakin diakui dunia.
Marty melihat bahwa saat ini para penilai di Indonesia belum dapat memberikan jasa penilaian secara langsung di luar negeri. Pasalnya, untuk berpraktik di negeri lain, Penilai Indonesia membutuhkan sertifikasi penilai sesuai dengan negara yang dituju. “Karenanya, untuk memperoleh international recognition, diperlukan harmonisasi sertifikasi penilai di Indonesia dengan sertifikasi yang diakui secara global”, tegas Marty.
Guna mewujudkan hal tersebut, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) diharapkan dapat bersinergi dengan International Valuation Standards Expertise dalam menyusun materi pendidikan penilaian. Kolaborasi ini bertujuan untuk menciptakan keselarasan kurikulum pendidikan dengan standar internasional, sehingga proses pengakuan sertifikasi Penilai Publik di Indonesia lebih seamless.
Lebih lanjut, Marty menekankan pentingnya peran aktif Indonesia di forum internasional seperti International Valuation Standards Council (IVSC). “Indonesia diharapkan tidak hanya sebagai pengguna IVS, tetapi juga dapat berkontribusi memberi masukan dalam penyusunan IVS,” ujar Marty saat meeting bersama Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) dan MAPPI di Ruang Meeting Sekjen, Gedung Juanda I, Kementerian Keuangan RI, Jumat (21/2).
Menurut Marty, para penilai di Indonesia bisa berperan aktif dalam isu-isu strategis global seperti penilaian terkait karbon kredit dan perlindungan biodiversitas. Penilaian tersebut juga semakin relevan dalam konteks transparansi investasi hijau dan keberlanjutan ekonomi global.
Dan yang tak kalah penting, imbuh pria berkaca mata ini, adalah penguatan justifikasi terhadap RUU Penilai agar mendapatkan dukungan lebih luas dari berbagai pihak. World Intellectual Property Organization (WIPO) atau organisasi hak kekayaan intelektual dunia yang Direktur Asia-Afrika-nya berasal dari Indonesia juga dapat dijadikan peluang strategis untuk memperkuat posisi profesi penilai di kancah global.
Pria yang menamatkan pendididikan gelar doktor pada bidang Hubungan Internasional di Australian National University ini juga menyoroti rendahnya rasio jumlah Penilai Publik di Indonesia dibandingkan dengan populasi jumlah penduduk yakni 1:350.000. Jika angka tersebut dapat ditingkatkan mendekati rasio yang berimbang seperti di negara lain, maka dampaknya terhadap pembangunan akan sangat besar. Oleh karena itu dia mendorong agar MAPPI dan pemerintah memiliki roadmap atau pedoman untuk mencapai tujuan tersebut tanpa mengabaikan kualitas profesi penilai.
Dalam diskusi hangat tentang pendidikan profesi penilai antara Marty, jajaran pengurus MAPPI serta PPPK terungkap bahwa penilai di luar negeri lebih banyak dihasilkan melalui jalur akademik. Sedangkan di Indonesia, sertifikasi penilai lebih banyak melalui jalur program pendidikan designasi yang diselenggarakan oleh MAPPI. Kendati demikian, saat ini Indonesia telah memiliki jalur pendidikan yang lebih beragam mulai dari program vokasi hingga magister properti dan penilaian.
IIVC 2025
Momentum Indonesia International Valuation Conference (IIVC) 2025, menurut Marty, dapat menjadi ajang strategis untuk memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas penilaian internasional. Kolaborasi antara MAPPI, Kementerian Keuangan, dan IVSC diharapkan mampu membuka peluang lebih luas bagi profesi penilai Indonesia di pasar global.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) MAPPI, Budi Prasodjo, menjelaskan bahwa ajang IIVC 2025 akan membahas tiga isu strategis, yakni pemanfaatan teknologi dalam penilaian, penilaian properti intelektual, dan unregistered land valuation atau penilaian tanah yang tidak terdaftar. Isu terakhir menjadi krusial mengingat sekitar 50% tanah di Indonesia belum terdaftar. “Seminar ini bertujuan untuk berbagi pengalaman internasional serta mengadaptasi local wisdom (kearifan lokal) dalam praktik penilaian terkait pengadaan tanah,” kata Budi.
Asia Director IVSC, Nicolas Konialidis menilai bahwa International Financial Reporting Standards (IFRS) atau standar pelaporan keuangan internasional dan International Valuation Standards (IVS) atau standar penilaian internasional dapat saling berjalan beriringan. IVS menjadi kerangka utama penilaian sedangkan IFRS digunakan untuk kebutuhan pelaporan keuangan. Indonesia diharapkan dapat mengadopsi standar ini sambil tetap mempertahankan kekhasan regulasi lokal.
Sementara itu, Kepala PPPK, Erawati menjelaskan bahwa saat ini tengah dilakukan revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Penilai Publik, sebagai tindak lanjut dari UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Salah satu tujuan dari revisi ini adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan industri penilaian di Indonesia.
Penulis : Asti Widyahari
Review : Amandus Jong Tallo
Penyunting : Farid Syah
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi