Penilai Punya Tanggung Jawab Sosial Dalam Penilaian Pengadaan Tanah

Jakarta – Penilaian tanah, khususnya dalam konteks pengadaan tanah tidak hanya berkaitan dengan teknik, tetapi juga tanggung jawab moral dan pembangunan. Oleh karena itu, para penilai harus bekerja berdasarkan tiga prinsip utama, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan sensitivitas terhadap risiko.

Pernyataan ini antara lain disampaikan oleh Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ossy Dermawan, dalam sambutannya di hari kedua gelaran Indonesia International Valuation Conference (IIVC) di ICE BSD City Jakarta, Kamis (24/4).

Menurut Ossy, dalam konteks tanah yang belum terdaftar seringkali menimbulkan permasalahan hukum dan sosial yang kompleks. Oleh karena itu, Penilai harus memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkan dari proses penilaian, seperti penghancuran tradisi dan gangguan terhadap jaringan kehidupan masyarakat setempat.

Salah satu inovasi yang telah dilakukan oleh ATR/BPN adalah menerapkan “Land Value Zone” (ZNT) yang memungkinkan pemetaan nilai tanah berdasarkan zona geografis yang mencerminkan nilai pasar relatif tanah tersebut.

ZNT bertujuan untuk menciptakan transparansi dalam penilaian tanah, yang penting bagi investasi, kebijakan publik, dan perpajakan. Menurut data, Indonesia sudah mencakup sekitar 63% dari total luas tanah yang terdaftar dalam sistem ZNT.

“Valuasi tanah harus mencakup pemahaman yang lebih dalam mengenai siapa saja yang terdampak, bagaimana kehidupan mereka apakah terganggu atau tidak dan apakah langkah kompensasi yang diberikan sudah adil dan setara. Dalam hal ini, peran penilai semakin luas, tidak hanya sebatas menghitung nilai fisik aset, tetapi juga memahami konteks sosial yang ada di lapangan,” tambahnya.

 

Revolusi 5.0 dan Peran Penilai

Di era Revolusi Industri 5.0, teknologi memainkan peranan penting dalam mempercepat dan meningkatkan akurasi dalam proses penilaian. Penggunaan kecerdasan buatan (AI), geospasial, dan otomatisasi penilaian mulai diterapkan untuk mendukung pekerjaan para penilai. Namun, Ossy Dermawan menekankan bahwa penilai tetap harus memiliki peran sosial yang lebih besar. “Penilai tidak hanya bertindak sebagai agen modal, tetapi juga agen keadilan yang mampu menghubungkan antara pemerintah dan masyarakat,” ujarnya.

IIVC 2025 ini, sambung Ossy, dirasa sangat penting untuk mendapatkan pembelajaran dari praktik internasional mengenai penilaian tanah, di mana nilai-nilai seperti martabat dan keadilan bagi masyarakat harus dijaga. Negara-negara dengan sistem tanah yang lebih maju juga menghadapi tantangan yang sama terkait dengan sistem kepemilikan tanah adat dan tidak terdaftar, yang sering menimbulkan ketidakpastian hukum.

Indonesia sendiri, imbuhnya, dengan sistem kepemilikan tanah yang sangat beragam harus terus mengembangkan kebijakan dan sistem penilaian yang dapat mencakup seluruh jenis hak atas tanah, mulai dari hak adat hingga hak formal yang terdaftar. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan penilai yang memiliki kemampuan untuk menerapkan teknik penilaian yang inklusif, memperhatikan konteks sosial-ekonomi, serta menciptakan mekanisme banding untuk menjamin keadilan.

Ia menilai beberapa langkah penting yang harus diambil antara lain pengembangan pedoman untuk menilai tanah yang belum terdaftar, pelatihan bagi Penilai untuk menggunakan teknik penilaian yang lebih inklusif, serta penerapan asesmen dampak sosial dalam setiap proyek akuisisi tanah. “Dengan kebijakan yang lebih fleksibel dan inklusif, maka akan lebih efektif untuk menciptakan sistem penilaian tanah yang lebih adil dan transparan,” pungkasnya.

Konferensi ini berhasil menarik perhatian berbagai pihak, termasuk profesional penilai, pemerintah, dan sektor swasta, yang semuanya berharap dapat berkontribusi dalam menciptakan ekosistem penilaian tanah yang lebih baik di era Revolusi Industri 5.0.

Kegiatan International Valuation Conference (IIVC) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pada 23-24 April 2025 bertemakan “Navigating Valuation in the Industrial Revolution 5.0 Era: Integrating Technology, Embracing the Creative Economy, and Upholding Social Responsibility”.

Konferensi pada hari kedua menghadirkan Wakil Menteri ATR)/BPN, Ossy Dermawan, yang memberikan materi utama mengenai pentingnya peran penilaian tanah dalam menghadapi tantangan revolusi industri 5.0.

 

Penulis : Amandus Jong Tallo

Editor : Farid Syah

Leave a Reply