Apa Pendapat 3 Profesor Ini tentang RUU Penilai?
Jakarta – Dalam rangka menggaungkan kembali urgensi Rancangan Undang-Undang Penilai (RUUP), Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) menggelar seminar internasional dengan menghadirkan tiga guru besar dari tiga universitas yang berbeda sebagai narasumber pada Selasa (20/05/2025) lalu. Tiga guru besar tersebut memberikan pandangan dan opini mereka tentang RUU Penilai dalam forum seminar internasional bertajuk “Indonesia Valuation Act International Seminar (IVAIS) 2025”.
Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI menegaskan secara gamblang bahwa dalam hierarki perundang-undangan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 101/2014 jo. 56/2017 jo. 228/2019 yang mengatur tentang Penilai Publik levelnya sangat rendah dan sangat riskan diputarbalikkan atau disalahmengertikan.
“Mohon maaf Kementerian Keuangan, PMK is nothing. Ini masih awal, tapi dalam negara hukum you must have the law. Kalau tidak ada UU Penilai, maka tidak ada kepastian hukum dan tidak ada instrumen untuk membela diri. Kalau dibawa ke judicial review gak kuat itu PMK. Tamat riwayatnya. Hukum adalah panglima tertinggi di negara ini,” tegas Ningrum.
Jika ada UU Penilai, sebut Ningrum, maka akan muncul kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dari ketiga aspek ini, kedudukan kepastian hukum adalah yang tertinggi. Aspek keadilan dan kemanfaatan masih mengandung subyektifitas. Sedangkan kepastian hukum bukan hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bermanfaat bagi profesi, investor maupun pemerintah karena undang-undang memberikan jawaban atas apa yang menjadi kekhawatiran bersama. Namun pemerintah dinilai baru akan melirik RUU Penilai apabila di dalamnya terdapat kepentingan umum.
“Sebenarnya ngeri-ngeri sedap orang yang menjalankan profesi (penilai) ini. Sudah puluhan tahun profesi penilai ini dijalankan, tetapi belum ada aturannya. Sekarang tergantung pemerintah dan anggota DPR yang kita pilih itu. Kalau kedua institusi ini tidak menganggapnya sebagai prioritas, ya penilai masih tetap bekerja tetapi di luar sana ada yang menanti mangsa karena tidak ada kepastian hukum. Bisa jadi (berlaku) hukum rimba,” jelas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.
Sah-sah saja undang-undang memberikan perlindungan kepada kepentingan masyarakat, namun yang lebih penting adalah perlindungan terhadap profesi sehingga orang tidak takut ketika menjalani pekerjaan sebagai penilai.
UU Penilai Sebagai Syarat OECD
Ningrum melanjutkan bahwa saat ini pemerintah tengah gencar untuk menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi. Dan syarat untuk bergabung dalam organisasi tersebut adalah Indonesia sudah harus memiliki UU Penilai. Hal ini menandakan bahwa UU Penilai sangat berperan besar dalam peristiwa ekonomi di suatu negara.
“Indonesia itu negara yang kalau sudah masuk menjadi anggota suatu organisasi internasional, pamornya seperti naik kelas. Indonesia mau masuk dalam jajaran negara maju kalau sudah punya kriteria salah satunya adalah UU Penilai. Tetapi RUU Penilai tidak dijadikan skala prioritas,” papar Ningrum.
Sementara itu, Prof. Dr. H. Joni Emirzon, SH., M.Hum. menguraikan bahwa tanpa pengaturan melalui UU, asas-asas penting seperti kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, profesionalisme, kejujuran dan perlindungan tidak akan mengikat secara efektif. Oleh karena itu, asas hukum ini harus dikonkretkan dalam bentuk norma tertulis melalui undang-undang agar dapat diberlakukan secara luas dan mengikat.
Lebih lanjut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Siriwijaya ini juga menyampaikan bahwa profesi jasa lainnya seperti advokat, notaris maupun akuntan publik sudah memiliki UU sendiri, sedangkan penilai publik belum.
“Akibatnya, kepercayaan publik terhadap profesi penilai melemah. Bila muncul malpraktik penilaian maka akan berdampak secara hukum bagi reputasi profesi secara keseluruhan,” ungkap Joni.
Melalui pendekatan filosofis, yuridis dan sosiologis, Joni juga menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh UU akan menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban, menjamin keadilan dan memperkuat peran secara kelembagaan jasa penilai publik dalam sistem hukum nasional dan global.
Prof. Dr. (H.C.) Ir. Mohammed Ali Berawi, M.Eng.Sc., Ph.D. guru besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia memberikan paparan berjudul Transformasi Penilaian Aset Melalui Infrastruktur Bernilai Tambah dan Inovasi Teknologi.
“Ketersediaan layanan digital dan potensi pemanfaatan teknologi ramah lingkungan juga akan memberikan nilai tambah,” ungkap pria yang akrab disapa Prof. Ale ini.
Dalam konteks percepatan RUU Penilai, Ali memberikan argumen bahwa RUU Penilai juga harus dapat menjadi instrumen yang adaptif, progresif dan relevan dengan kebutuhan pembangunan nasional yang berorientasi pada penciptaan nilai tambah.
Ali yang juga Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) memberikan contoh infrastruktur yang bernilai tambah dengan berbasis inovasi teknologi yakni pada proyek yang ia sebut Kota Cerdas Nusantara.
Komponen utama dalam pembangunan kota cerdas adalah bukan sekadar mempersiapkan perangkat lunak/software dan perangkat keras/hardware, tetapi juga perlu mempersiapkan brainware yakni orang-orang yang mengendalikan sistem tersebut.
Penulis : Farid Syah
Editor : Eka Vanda
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi