Sejarah Penilai di Indonesia (4): Cikal Bakal Pendidikan Penilai

Sampai dengan dekade 1980-an, perkembangan industri jasa penilaian di Indonesia masih mencari-cari bentuk. Regulasinya masih sangat longgar. Ibaratnya, siapa saja bisa mendirikan perusahaan jasa penilai. Siapa saja bisa menjadi penilai. Pendidikan formal bidang penilaian belum ada. Standar penilaian, kode etik penilai, dan uji kompetensi sebagai suatu prasyarat eksistensi sebuah profesi juga belum ada. Bisa dibilang, hampir semua penilai masih belajar secara otodidak.

Dari mana para penilai ketika itu memperoleh ilmu penilaian?  Agar bisa bekerja sebagai penilai, saat itu pendidikannya hanya bisa diperoleh dari kursus-kursus singkat atau pelatihan-pelatihan. Bahkan, tak sedikit orang yang menjadi penilai hanya berbekal training yang diberikan oleh mentor di perusahaan mereka bekerja. Asal sudah bekerja di sebuah perusahaan jasa penilai, seseorang sudah bisa melakukan kegiatan penilaian meskipun tanpa melalui uji kompetensi dan sertifikasi profesi.

Saat itu belum ada standar penilaian yang harus diikuti dan kode etik profesi yang harus dipatuhi.

Apalagi, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor Nomor 161/KP/VI/1977 sebagai satu-satunya payung hukum profesi ini juga tidak menyebut-nyebut adanya standar dan kode etik yang harus dijadikan pedoman dalam praktek penilaian. Peraturan tersebut hanya mengatur masalah persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa penilaian.

Pada dekade 1980-an itu, harus diakui belum banyak yang bisa dilakukan MAPPI untuk mengembangkan profesi penilai di Indonesia. Jumlah anggotanya pun masih sangat terbatas meskipun persyaratannya sangat longgar.

Melihat jumlah orang yang menjadi penilai semakin banyak, pada saat itu Balai Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK) Departemen Keuangan mulai giat menyelenggarakan pendidikan penilaian dan menugaskan banyak pegawai negeri menempuh pendidikan penilaian di Malaysia. Para pegawai negeri yang mengikuti pendidikan penilaian baik yang diselenggarakan BPLK maupun di Malaysia itulah yang akhirnya banyak bergabung menjadi anggota MAPPI.

Untuk kali pertama, BPLK menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Penilai pada 1 November 1980. Kegiatan ini terus berlangsung berurutan hingga April 1981. Setelah itu, Departemen Keuangan menyelenggarakan pendidikan penilai untuk kepentingan program Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) atau Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pendidikan ini terlaksana hingga enam angkatan, dari 1986 hingga 1987.

Namun, karena ketika itu kebutuhan pemerintah akan penilai sangat besar guna mendukung program pengembangan PBB, diklat tersebut dirasakan kurang memadai. Karena itulah pemerintah kemudian berencana membuat Program Diploma III Penilaian. Pada 1988 dibentuk Tim Perencanaan Program Diploma III. Baik GAPPI maupun MAPPI dilibatkan dalam perencanaan ini. Stefanus Gunadi, misalnya, yang ketika itu termasuk pengurus GAPPI dan MAPPI, tercatat sebagai anggota tim. Tim ini ditugaskan untuk mengadakan studi banding ke Universitas Teknologi Malaysia, Institut Teknologi Mara Malaysia, dan Institut Penilaian Negara Malaysia.

Tim ini mengikuti beberapa perkuliahan penilaian dan mempelejari kurikulum pendidikan penilaian di tiga perguruan tinggi tersebut. Sepulang dari Malaysia, tim ini kemudian menyusun silabus, dan tak lama setelah itu dibukalah Program Diploma III Penilaian di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) di Malang, Jawa Timur. Dari sinilah pemerintah mencetak banyak penilai untuk PBB. Maka, inilah untuk kali pertama, di Indonesia ada pendidikan formal bidang penilaian meskipun baru setingkat diploma. Jebolan Program Diploma III Penilaian STAN ini pula yang kemudian banyak menjadi anggota MAPPI pada periode itu.

Program Diploma III Penilaian STAN itu akhirnya menjadi “jalur resmi” untuk menjadi penilai ketika itu. GAPPI dan MAPPI pun belum memiliki program pendidikan sendiri. Sesungguhnya, ketika itu juga ada rencana dari GAPPI dan MAPPI untuk membuat Program Diploma III Penilaian di perguruan tinggi umum. Namun, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tak memberi lampu hijau lantaran para pejabat di departemen tersebut belum mengenal ilmu penilaian dan menganggap rumpun ilmu pengetahuannya tidak ada. Pendek kata, hingga akhir dekade 1980-an, belum ada jalur pendidikan di perguruan tinggi umum untuk menjadi penilai publik. Jalur pendidikan formal yang ada hanya untuk penilai pemerintah, dan lulusannya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, terutama untuk penilaian PBB. Dengan demikian, sampai periode itu, pendidikan penilaian untuk penilai publik belum terstandarkan.

***

Tulisan berseri tentang sejarah Profesi Penilai di Indonesia ini disarikan dari buku Breakthrough Profesionalisme Penilai Indonesia karya Doli D Siregar. Buku ini diterbitkan pada tahun 2013 atas kerja sama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan, kini Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK), dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Salah satu babnya membahas sejarah profesi penilai di Indonesia yang didasarkan pada riset dan serangkaian wawancara dengan para pelaku usaha jasa penilaian —Redaksi.

Leave a Reply