MAPPI Jatim Gelar Webinar Penilaian Kekayaan Intelektual
Dewan Pengurus Daerah (DPD) Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) Jawa Timur menggelar webinar bertema “Penilaian Hak Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Objek Agunan” pada Rabu, 24 Januari 2024. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 400 peserta dari anggota MAPPI, institusi perbankan, akademisi, dan mahasiswa.
Sekretaris II DPD MAPPI Jawa Timur (Jatim) Adi Pitra Perdana mengungkapkan, kegiatan webinar ini merupakan kelanjutan dari webinar yang pernah dilakukan MAPPI Jatim sebelumnya sebagai tindak lanjut setelah keluarnya eksposur draf Standar Penilaian Indonesia (SPI) 321 tentang Penilaian Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Utang.
“Nantinya SPI ini jadi perangkat pendukung penilai untuk dapat menghasilkan penilaian yang kredibel atas aset kekayaan intelektual yang menjadi objek jaminan utang,” ujar Adi.
Dijelaskan Adi, webinar kali ini juga tidak hanya fokus melibatkan para anggota MAPPI, tapi juga melibatkan para akademisi dan mahasiswa. “Tahun ini kami akan merangkul akademisi dan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia untuk ikut dalam kegiatan MAPPI Jatim agar nantinya bisa memberikan kontribusi positif baik bagi profesi penilai maupun pengenalan profesi penilai bagi adik-adik mahasiswa,” ujar Adi yang menjelaskan MAPPI Jatim sudah menjalin kolaborasi dengan perguruan tinggi di Jatim.
Webinar ini menampilkan beberapa narasumber, yaitu Direktur Pengembangan Kekayaan Intelektual Industri Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sabartua Tampubolon, Departement Head SME Banking Bank Tabungan Negara (BTN) Louisa Maengkom, dan Imam Susilo mewakili Kepala Legal Division BTN. Selain itu, ada Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) Hamid Yusuf dan anggota KPSPI MAPPI Rudi M Syafrudin.
Dalam pemaparannya, Sabartua menjelaskan bahwa kekayaan intelektual (KI) merupakan bagian dari yang dimiliki oleh sumber daya manusia, di mana sumber daya manusia tersebut merupakan bagian yang tidak terlepas dari sumber daya nasional. Selanjutnya dijelaskan, hak kekayaan intelektual (HKI) bisa terbagi menjadi dua, yaitu HKI komunal dan HKI personal. HKI komunal seperti sumber daya genetik, ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional, dan indikasi geografis. Sedangkan HKI personal berupa hak cipta dan hak terkait serta hak milik industri.
Dasar hukum dari HKI adalah Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, serta Peraturan Presiden Nomor 142 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif 2018-2025.
Menurut Sabartua, sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 24 Tahun2022, maka diperlukan beberapa hal, seperti perlunya peningkatan kompetensi profesi penilai KI, menyiapkan platform pendaftaran penilai KI, penyediaan akses data atas KI yang dijadikan objek jaminan, penyiapan sistem pencatatan fasilitas pendanaan pelaku ekonomi kreatif (ekraf), penyusunan regulasi terkait sektor jasa keuangan, pemberian insentif kepada pelaku ekraf, pembentukan Badan Layanan Umum (BLU), penyediaan sistem manajemen kolektif digital, dan fasilitas sistem pemasaran berbasis KI.
Terkait fasilitas skema pembiayaan berbasis KI, berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2022 ada tiga, yaitu HKI sebagai objek jaminan utang dapat diajukan ke lembaga keuangan bank atau nonbank, memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, dan bentuk KI sebagai jaminan utang meliputi jaminan fidusia atas KI, kontrak dalam kegiatan ekraf, dan/atau hak tagih dalam kegiatan ekraf.
“Untuk penilai KI harus memiliki izin penilai publik, memiliki kompetensi bidang penilaian KI, dan terdaftar di Kemenparekraf. Sedangkan, untuk panel penilai harus ditunjuk oleh Lembaga Keuangan, dan melakukan penilaian yang tidak dinilai oleh penilai KI,” ujar Sabartua.
“Tugas penilai KI yaitu melakukan penilaian KI yang dijadikan agunan serta melakukan analisis pasar terhadap KI yang dijadikan agunan,” tambahnya.
Sementara itu, Louisa Maengkom dan Imam Susilo menyampaikan materi secara bergantian. Louisa lebih memfokuskan pada pemaparan tentang ketentuan-ketentuan umum kredit di BTN. Sedangkan, Imam Susilo menjelaskan perihal pihak yang terlibat dalam skema pembiayaan berbasis KI yang meliputi lembaga keuangan bank atau non-bank, pemohon atau penerima pembiayaan (bisa pemilik atau pemegang HKI), penilai KI, serta instansi/lembaga pemerintah.
“Sangat disarankan pada saat mengajukan pembiayaan harus ada jaminan atau surat dari Kemenparekraf atau lembaga lelang yang berkompeten,” saran Imam.
Tingkat risiko HKI sebagai jaminan kredit pada bank, menurut Imam, terbagi tiga. Pertama, low risk seperti hak cipta lagu, musik, sinematografi, buku, dan merek. Kedua, moderate risk berupa hak cipta seperti fotografi, potret, permaianan video, program komputer, perwajahan karya tulis dan yang sejenisnya, serta hak cipta lainnya. Ketiga, high risk seperti paten, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Terkait soal agunan, Imam menjelaskan bahwa saat ini di BTN belum mengaplikasi HKI sebagai agunan. Hal tersebut berkaitan dengan tantangan dan kendala perbankan dalam implementasi HKI sebagai jaminan kredit.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, eksekusi terhadap HKI yang dijaminkan sulit dilakukan karena terjadinya pengalihan HKI dan/atau adanya sengketa terkait kepemilikan HKI. Kedua, hak yang melekat atas suatu HKI hilang karena alasan-alasan tertentu, seperti jangka waktu. Ketiga, fluktuasi nilai HKI yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti gugatan pihak ketiga. Keempat, Indonesia belum memiliki secondary market yang dapat memudahkan jual beli HKI oleh masyarakat umum, misalkan dalam bentuk bursa atau marketplace yang memudahkan perbandingan nilai HKI oleh penilai. Kelima, belum terdapat sistem informasi yang memungkinkan dilakukannya monitoring status HKI secara terpadu. Dan, keenam, setiap jenis HKI memiliki sifat, konsep, dan pelindungan yang berbeda-beda. “Hal ini berdampak pada cara dan nilai valuasi HKI terkait,” ujar Imam.
Pada bagian lain, Hamid Yusuf memberi sedikit penjelasan umum seputar SPI 321. Selebihnya, ia menyerahkan kepada Rudi M Syafrudin untuk menguraikan hal-hal pokok mengenai SPI tentang Penilaian Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Utang. Dalam penjelasannya, Rudi mengingatkan bahwa penilai harus memahami karakter KI agar bisa dijadikan jaminan meski tidak semua kekayaan intelektual bisa dijadikan agunan.
Adapun untuk memahaminya, menurutnya, penilai perlu melakukan identifikasi objek penilai, jenis KI, hak kepemilikan, hak lisensi, dan lainnya. Rudi juga mengingatkan batasan investigasi dalam penilaian KI. Ditegaskan Rudi, penilai harus mempertimbangkan apakah memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan melakukan kajian atas karakteristik aset yang dinilai dan/atau memerlukan adanya opini dari tenaga ahli lain.
“Ketika menyusun penilaian KI untuk pembiayaan utang, sangat penting bagi penilai untuk memastikan bahwa nilai dari skenario yang paling memungkinkan tidak membuat potensi pendapatan dari KI menjadi tidak jelas, sehingga KI yang dinilai menjadi tidak dapat memenuhi kewajiban utangnya,” ujarnya.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi