MAPPI Gelar PKP 100, Diikuti 50 Peserta

Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), melalui Komite Penyusunan Standar Penilaian Indonesia (KPSPI), menyelenggarakan Pendidikan Khusus Penilaian (PKP) 100. PKP ini dilaksanakan di Jakarta selama tiga hari, Kamis hingga Sabtu (1-3/2/2024) dan diikuti sekitar 50 penilai dari berbagai daerah.

PKP 100 dilaksanakan agar penilai memperoleh pemahaman mendalam terhadap Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI) dan SPI sebagai pedoman dalam praktik penilaian. Karena itu, PKP 100 ini juga menjadi persyaratan bagi anggota MAPPI yang sudah lulus ujian sertifikasi profesi (USP) untuk memperoleh izin praktik sebagai penilai publik dari Menteri Keuangan.

Pada hari pertama, setelah dibuka oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) MAPPI Muhammad A Muttaqin, tampil sebagai narasumber Kepala Subbidang Perizinan Penilai, Aktuaris, dan Profesi Keuangan Lainnya Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan Iman Mushin. Ia menyampaikan materi tentang Prosedur Perizinan Profesi Penilai dan Penerapan Standar Pelayanan Mutu (SPM).

Selain Iman Mushin, juga tampil sebagai narasumber adalah Ketua KPSPI Hamid Yusuf yang memberikan materi tentang SPI dan Ketua 1 DPN MAPPI Guntur Pramudiyanto bersama Ketua Komite USP Budi Prasodjo dengan materi tentang KEPI.

Selain mengikuti pemaparan materi dari para narasumber, peserta PKP 100 juga harus mengikuti sesi pretest dan workshop berdasarkan materi yang disampaikan narasumber mulai hari pertama hingga hari ketiga.

Sebagai pemateri pertama, Iman Mushin memaparkan proses dan persyaratan perizinan untuk menjalankan profesi penilai yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.01/2019 tentang Penilai Publik.

Selain itu, ia juga menjelaskan tentang eLSa-PK (Layanan Satu Atap Profesi Keuangan), aplikasi yang dikembangkan oleh PPPK. “Aplikasi eLSa-PK akan terus dibangun dan dikembangkan untuk kepentingan pembinaan dan pengawasan profesi keuangan bidang akuntansi, penilaian, dan aktuaria,” katanya.

Menurutnya, ada empat manfaat yang diperoleh dari aplikasi eLSa-PK ini. Pertama, pengguna dapat lebih mudah mengakses berbagai informasi mengenai perizinan profesi keuangan. Kedua, monitoring dan tindak lanjut proses perizinan lebih cepat melalui sistem. Ketiga, waktu penyelesaian perizinan lebih cepat. Dan, keempat, aplikasi ini dapat diakses dari mana saja dan kapan saja.

Khusus untuk bidang penilaian, menurut Iman Muhsin, terdapat 2 layanan yang terkait dengan perizinan penilai. Mulai dari registrasi penilai, izin penilai publik, izin Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), izin cabang KJPP, perubahan data penilai publik, dan perubahan data KJPP dan cabang KJPP. “Semua layanan ini untuk memudahkan proses perizinan profesi penilai,” katanya.

Sementara itu, dalam paparannya, Hamid Yusuf menegaskan akan pentingnya SPI dalam praktik penilaian. Menurutnya, saat ini di Indonesia dikenal ada penilai pemerintah, penilai publik, dan penilai internal. “Dalam praktik, semua mengaku menggunakan SPI dalam kegiatan penilaian. Namun, di luar penilai publik anggota MAPPI, siapa yang bisa mengawasi apakah mereka sudah menerapkan SPI secara benar atau tidak,” ujar Hamid.

Kerancuan tersebut terjadi, menurutnya, karena hingga saat ini masih belum ada undang-undang (UU) yang secara khusus mengatur profesi penilai. Karena itu, Hamid Yusuf mencatat ada empat masalah umum dalam penilaian. Pertama, status profesi penilai yang lemah lantaran tidak diatur dalam UU. Kedua, secara kelembagaan, profesi penilai sangat tergantung pada regulasi dari sektor-sektor terkait. Ketiga, tidak adanya basis data properti. Keempat, tidak adanya perlindungan hukum bagi profesi penilai. “Itulah pentingnya UU Penilai,” tegas Hamid.

Pada sesi terakhir di hari pertama, Budi Prasodjo dan Guntur Pramudiyanto secara bergantian menjelaskan tentang pentingnya profesi penilai mematuhi kode etik. Budi menegaskan, tujuan KEPI adalah mengatur penilai agar hasil penugasan penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi tugas, masyarakat, dan profesi penilai. Jika tak mematuhi KEPI, ia pastikan hasil penilaian tak bisa dipertanggungjawabkan.

“Nah, masalahnya, kita sering abai pada pelanggaran-pelanggaran kecil yang dianggap remeh. Baru sadar saat terjadi masalah,” ujar Budi.

Sementara itu, Guntur mengingatkan perihal tanggung jawab penilai, yang meliputi tanggung jawab terhadap integritas pribadi penilai, tanggung jawab terhadap pemberi tugas, tanggung jawab terhadap sesama penilai, dan tanggung jawab kepada masyarakat. “Setiap akan menerima, sedang melaksanakan, atau telah menyelesaikan suatu penugasan, penilai harus melakukan identifikasi dengan panduan prinsip dasar etik. Hal ini untuk memastikan hasil penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberitugas, masyarakat, dan profesi penila,” ujarnya.

Kegiatan PKP 100 di hari pertama ini diakhiri dengan workshop yang terkait materi-materi narasumber. Workshop dipandu oleh para narasumber hingga selesai.

Leave a Reply