Astrid Flora dan Susahnya Mencari Penilai
Sejak meniti karier sebagai penilai pada 2006, Astrid Flora Pahliana menyadari bahwa profesi yang dia pilih tidak begitu diminati oleh masyarakat. Terutama di beberapa daerah, keberadaan profesi penilai masih sangat minim.
Fakta itu dia temui saat berkantor di Bali. Menetap di Pulau Dewata selama 8 tahun, Astrid mengaku dirinya kesulitan merekrut karyawan untuk bekerja di Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Setidaknya hal itu jadi bukti bahwa gaung profesi penilai belumlah terlalu besar, terkhusus di daerah-daerah tertentu.
“Dan untuk mendapatkan putra daerah Bali yang menjadi penilai, itu sangat susah. Ini PR bagi MAPPI sebagai asosiasi,” tutur Astrid kepada Media Penilai pekan lalu.
Di Bali sendiri, lanjutnya, putra-putri daerah lebih banyak memilih bekerja di sektor pariwisata atau perhotelan. Wanita kelahiran Garut, Jawa Barat, ini menilai bahwa rendahnya minat mahasiswa terhadap profesi penilai dikarenakan belum banyaknya kampus-kampus yang menyediakan mata kuliah terkait penilai.
Menurut Astrid, sarana pendidikan sangatlah penting untuk menjaring sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Hal ini diperlukan agar profesi penilai tidak sekadar pilihan terakhir dalam karier atau jadi batu loncatan, tetapi justru menjadi pilihan utama.
“Terutama di daerah. Bandung, Yogyakarta, Sumatera mungkin sudah lebih mature karena sudah ada kampus yang menyediakan mata kuliah terkait penilai. Yang selama ini saya simak itu, profesi penilai jadi pilihan akhir ketika tidak lulus jadi PNS atau tidak diterima berkarier di beberapa perusahaan besar. Seolah-olah jadi pilihan terakhir dan batu loncatan saja. Inginnya, profesi penilai jadi pilihan utama juga,” ungkap Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) MAPPI Bali-Nusra periode 2019-2023 ini.
Astrid sendiri mengakui bahwa pada mulanya dirinya tidak bercita-cita menjadi seorang penilai. Menyandang sebagai Sarjana Teknik dari Institut Teknologi Nasional Bandung, Astrid ingin bekerja di perusahaan yang berkaitan dengan keilmuannya. Namun, takdir berkata lain, Astrid berbelok arah dan terjun ke dunia penilai.
Pilihannya menekuni profesi penilai ternyata tak lepas dari arahan sang ayah, almarhum Iwan Hindawan Dadi, yang tak lain merupakan Direktur Penilaian di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu pada tahun 2006, dan sekaligus sosok yang berkontribusi dalam proses penyusunan pendidikan di MAPPI. Namun, sejak ayahnya berpulang pada tahun 2009, Astrid pun bimbang. Dia berpikir untuk lepas dari bayang-bayang ayahnya.
“Saat itu saya diminta ayah untuk bekerja sebagai penilai. Mungkin ini bentuk kecintaan ayah saya terkait profesi penilai. Jadi ketika ayah saya meninggal tahun 2009, saya sempat berpikir apakah profesi ini keinginan saya atau saya masih ada di bawah bayang-bayang ayah saya,” ucap wanita kelahiran tahun 1980 ini.
Berkat dukungan dan didikan dari petinggi MAPPI kala itu, Astrid akhirnya bisa menetapkan hatinya untuk melanjutkan kariernya sebagai penilai. Kini dengan kehadiran Media Penilai, dia berharap profesi penilai dapat lebih dikenal, dipahami, dan diminati oleh masyarakat luas.
Sumber foto:www/djkn.kemenkeu.go.id/
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi