Henricus, Penilai yang Tak Pernah Berhenti Belajar
Meskipun sudah bergelut di dunia penilaian sejak 1996, Henricus Judi Adrianto termasuk seorang penilai yang tak pernah berhenti belajar. Jumat (24/11/2023) kemarin, misalnya, Henricus baru saja mempertahankan disertasinya dalam sidang ujian terbuka (promosi Doktor) di Universitas Kristen Indonesia. Judul disertasinya adalah “Fungsi dan Tanggung Jawab Penilaian Pertanahan dalam Pengadaan Tanah pada Proyek Strategis Nasional.”
Saat ini, Henricus berhak menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum. Bukti bahwa Henricus tak pernah berhenti belajar, pada 2020 pria kelahiran Jakarta, tahun 1966, ini juga meraih gelar Doktor Ilmu Manajemen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Persada Indonesia. Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan studi Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Jakarta.
Salah satu alasan Henricus mengambil program doktor ilmu hukum, kemudian memilih judul disertasi “Fungsi dan Tanggung Jawab Penilaian Pertanahan dalam Pengadaan Tanah pada Proyek Strategis Nasional,” didasarkan atas keprihatinannya. Ia prihatin, profesi penilai memiliki risiko tinggi, termasuk risiko hukum, namun dasar hukumnya yang setingkat undang-undang (UU) belum ada.
“Saya coba sempurnakan dari penelitian sebelumnya. Contohnya, dari kasus penilaian dari lima tahun terakhir. Karena belum ada perlindungan hukumnya, maka harus ada pencegahan sebagai pisau analisanya, investigasi sendiri. Pencegahan dengan menerapkan investigasi risiko. Ada langkah-langkah yang harus dilakukan, mengevaluasi, mengukur risiko, baru bisa dilakukan implemantasinya,” Henricus menjelaskan.
Berdasarkan disertasi yang dirampungkannya dalam waktu empat bulan itu, menurut Henricus, jarang sekali profesi penilai bisa menjalani pekerjaannya secara lancar. Dapat dipastikan, ada saja kendala atau risiko yang mereka hadapi, bahkan sampai ke jalur hukum.
“Salah satu tujuan dari disertasi ini adalah mencari solusi dalam menyelesaikan kasus tanpa harus ke pengadilan,” tandasnya. Sebelum ada UU tentang Penilai, imbuhnya, penyelesaian kasus penilaian pertanahan atau pengadaan tanah sebaiknya tidak dilakukan lewat pengadilan, melainkan arbitrase. “Ini sebagai penyelesaian alternatif,” ujarnya.
Namun, menurut Henricus, solusi arbritase itu sebagai mitigasi hukum belum banyak digunakan oleh penilai. Karena itu, diakuinya, banyak penilai pertanahan yang akhirnya berurusan dengan aparat penegak hukum (APK). Henricus mengingatkan, ada empat hal yang perlu dipersiapkan oleh penilai jika terpaksa harus berurusan dengan aparat penegak humum. Pertama, dalam hal penilaian pertanahan, semua data pembanding harus valid dan akurat. Termasuk, melampirkan surat minat jual dari pemilik tanah sebagai data pembanding dan foto bersama sebagai bukti survei lapangan.
“Kedua, pastikan semua proses sudah sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia dan telah diverifikasi oleh reviewer,” jelasnya.
Ketiga, menurut Henricus, penilai harus mempelajari surat panggilan dari aparat penegak hukum statusnya sebagai apa? Apakah sebagai saksi atau tersangka? Kemudian, penilai juga harus mempelajari pasal-pasal yang disangkakan oleh aparat penegak hukum. “Keempat, konsultasikan dengan konsultan hukum pertanahan yang sudah mempunyai jam terbang dalam penanganan penilaian pengadaan tanah,” ujar Henricus.
Henricus mengakui, niatan untuk membuat UU Penilai sudah lama ada dan saat ini Rancangan UU Penilai baru akan dibahas di DPR. Ia yakin, proses pembahasan RUU Penilai akan memakan waktu lama. “Jadi, sebelum UU Penilai diterapkan, di kontrak penilai mengacu pada arbitrase itu, jika ada perselisihan. Itu solusi yang terbaik, seperti rekonsiliasi dan mediasi, nanti dibikin akta perdamaian. Jadi bukan putusan yang memberatkan salah satu pihak,” katanya.
Lebih lanjut, ia berharap RUU Penilai bisa segera diproses oleh DPR sehingga bisa melindungi profesi penilai dan juga masyarakat. “RUU dibikin bukan untuk melindungi profesinya saja, tapi juga masyarakat pengguna. Jadi ada dua sisi perlindungan hukum di penilitian saya itu. Saya yakin banyak masyarakat yang belum tahu manfaatnya, bahkan ada juga tak kenal profesi penilai itu seperti apa,” tegasnya.
Menurut Hendricus, UU Penilai memang sangat dibutuhkan. Ia tidak ingin ada penilai yang seakan dipermainkan oleh pihak-pihak yang paham hukum ketika menghadapi persoalan dalam menjalankan tugasnya. “Tapi, sebelum ada UU Penilai, solusi terbaik jika ada persoalan, ya arbitrase. Di situ pasti bisa selesai, dan itu juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase,” Hendricus memberi penegasan.
Hendricus mengaku senang bisa menyelesaikan disertasinya dan berhasil mempertahankannya di depan sidang ujian terbuka. “Saya senang bisa selesai tepat waktu dan tidak perlu lagi bayar uang kuliah,” katanya sembari terkekeh.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi