Pembahasan RUU Penilai Resmi Ditunda
Target pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai yang diharapkan bisa rampung akhir tahun ini tak tercapai. Dengan mempertimbangkan berbagai alasan, RUU Penilai baru bisa dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2024 mendatang.
Kepastian itu disampaikan Ketua 2 Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) Dedy M Firmanto akhir pekan kemarin. Penundaan pembahasan RUU Penilai tersebut tertuang dalam Keputusan DPR RI Nomor 15/DPR RI/I/2023-2024 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2024. Dalam keputusan tersebut, RUU Penilai masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2024 sebagai luncuran Prolegnas Prioritas tahun 2023.
Menurut Dedy, penundaan pembahasan RUU Penilai tersebut dikarenakan situasi politik memasuki masa Pemilihan Umum (Pemilu). Selain itu, masa sidang DPR juga akan berakhir pada 5 Desember, dan baru mulai sidang lagi pada 2024. Namun, yang terpenting saat ini, lanjut Dedy, posisi RUU Penilai sudah aman dan dipastikan akan dibahas bersama DPR dan pemerintah tahun depan.
“Ini adalah antisipasi karena situasi politik, ada Pemilu dan lain-lain. Prosesnya itu kita pastikan kalau dibahas 2024 sudah aman, karena masuk ke dalam Prolegnas tahun 2024. Karena prioritas, dipastikan RUU Penilai akan dilakukan pembahasan di 2024. Ini progresnya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) MAPPI Muhammad Adil Muttaqin menegaskan, pihaknya terus mendorong pengesahan RUU Penilai. Sebab, lanjutnya, profesi penilai membutuhkan payung hukum yang lebih kuat dan komprehensif, mengingat kompleksitas pekerjaan yang dilakukan penilai.
Selama ini, kata Muttaqin, tugas yang dijalankan profesi penilai hanya didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan beberapa UU yang mengakui profesi ini, seperti UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan juga UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Muttaqjn menjelaskan, setidaknya terdapat empat urgensi mengapa UU Penilai sangat diperlukan. Pertama terkait status penilai, dan kedua terkait standar serta kelembagaan. Menurutnya, saat ini tidak ada standar yang jelas terkait posisi penilai. “Status profesi penilai itu posisinya bagaimana? Lalu untuk menjadi penilai kualifikasinya apa dan standarnya penilai bagaimana?” ujar Muttaqin.
Ketiga adalah persoalan data. Muttaqin menyebut saat ini Indonesia belum memiliki pusat data terkait properti. Sehingga, bagi yang membutuhkan data harus mengeluarkan effort yang lebih untuk mendapatkan informasi terkait properti dengan cara bertanya ke sana-sini. Maka, dengan adanya UU Penilai diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk membangun pusat data properti.
Dan, keempat, imbuhnya, terkait perlindungan hukum. Sejauh ini, lanjut Muttaqin, rujukan yang digunakan oleh penegak hukum terhadap profesi penilai yang diduga melakukan fraud masih bersifat parsial, bisa menggunakan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ataupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan tak ada aturan yang rigid mengenai mekanisme pemanggilan profesi penilai oleh penyidik. Namun, dengan adanya UU Penilai, tata cara pemanggilan penilai akan diatur, yang nantinya harus melewati Majelis Penilai Indonesia (MPI).
“Dengan adanya UU Penilai, malah sebenarnya pidana itu bisa berlaku kepada orang yang bukan penilai tapi melakukan penilaian, atau orang yang memberikan keterangan palsu. Dan kalau kita (penilai) melakukan fraud, itu pasti ada konsekuensi hukum. Dan katakanlah nanti penyidik punya arah, kira-kira nanti ini ada kaitan dengan korupsi atau tidak, ada pelanggaran standar etika atau tidak, dan itu harus tanya dulu ke MPI, dan MPI yang nanti akan memutuskan. Ini akan diperkuat dengan UU itu. Selama ini penyidik main panggil saja,” tegas Muttaqin.
Sumber foto: detikfinance.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi