Keresahan Alek Prabudi, dari Penilai Menjadi Advokat
Pada Senin (27/112023) kemarin, Alek Prabudi diambil sumpahnya sebagai advokat di Pengadilan Tinggi Medan, Sumatera Utara. Maka, Alek Prabudi sudah dapat beracara di pengadilan sebagai seorang lawyer untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Tapi, siapa sangka, niatnya menjadi advokat dan mediator non-hakim justru didorong keresahan dan keprihatinannya pada kasus-kasus hukum yang menjerat profesi penilai.
Ya, sebelum menjadi advokat, Alek Prabudi memang dikenal sebagai seorang penilai. Kariernya sebagai penilai dimulai sejak menjadi mahasiswa magang (untuk menyelesaikan skripsinya pada Fakultas Teknik Sekolah Tinggi Teknik Harapan Medan) di PT Procon Penilai pada tahun 2005 yang dipimpin oleh penilai senior Zainal Arifin.
Sebelumnya, lelaki kelahiran Binjai, 3 November 1982, ini pernah juga magang menjadi wartawan di sebuah surat kabar di Medan dan juga aktif pada beberapa lembaga swadaya masyarakat. Semuanya dijalani ketika masih menjadi mahasiswa. Setelah bergabung dengan kantor penilai, barulah ia mengikuti pendidikan profesi penilai yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).
Untuk meningkatkan pengalamannya sebagai penilai, tahun-tahun berikutnya Alek Prabudi bekerja di beberapa perusahaan atau kantor penilai. Pada tahun 2006, misalnya, ia bekerja di PT Surveyor Indonesia. Setahun berikutnya, ia bergabung dengan PT Bintang Dharma Hurip. Hingga saat ini, Alek Prabudi masih aktif sebagai penilai publik dengan status sebagai rekan/pemimpin cabang Medan dari sebuah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
Untuk mengembangkan ilmunya, ia kembali ke bangku kuliah pada Fakultas Ekonomi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Al Hikmah Medan dan lulus pada tahun 2015. Menyadari bahwa pekerjaannya sebagai penilai sering bersinggungan dengan masalah hukum, Alek Prabudi pun merasa perlu untuk memperdalam ilmu hukum. Maka, ia kembali lagi ke kampus untuk mengambil jurusan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Al Hikmah Medan dan meraih gelar sarjana hukum pada tahun 2020. Tak cukup sampai di situ, ia kembali lagi mengambil program Magister Manajemen Properti dan Penilaian pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) dan lulus pada tahun 2023.
Tak hanya memperdalam ilmu hukum dari bangku kuliah, di sela kesibukannya sebagai penilai, sejak tahun 2017 Alek Prabudi sudah menjadi bagian dari kantor hukum yang didirikan oleh adiknya, dan telah sering menyusun analisis hukum sehingga menjadikan ia memiliki naluri yang peka terhadap potensi masalah hukum.
Pada awal tahun 2021, ia pun melamar magang pada Kantor Hukum Dr Abdul Hakim Siagian. Setelah beberapa bulan magang, ia kemudian diberikan kesempatan untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan di tahun yang sama mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA).
Semua usaha belajar dan pengorbanan waktu yang dilakukan hanya untuk satu tujuan yaitu menjadi advokat yang berintegritas dan profesional. Saat ini tujuan itu telah diperolehnya, tinggal menjaga komitmen dan konsistensinya dalam menjalankan profesi tersebut.
Keinginannya menjadi advokat itu untuk menjawab keresahan yang dirasakannya selama menjadi penilai. Salah satu, adanya kasus kredit bermasalah pada salah satu bank BUMN di Sumatera Utara dengan kerugian keuangan negara yang dituduhkan Rp 129 milliar. Dalam kasus ini, empat orang dijadikan tersangka dan salah satunya adalah seorang penilai.
“Dari peristiwa itulah muncul keresahan saya, dan memilih untuk belajar ilmu hukum secara formal. Profesi penilai itu punya irisan yang sangat jelas dengan hukum yang implikasinya berpotensi menimbulkan masalah hukum,” ujar Alek Prabudi.
Alek Prabudi juga menjelaskan, ada akibat hukum dari suatu perbuatan hukum. Pekerjaan penilai, menurutnya diawali dengan perbuatan hukum yaitu ketika menandatangani suatu perikatan dalam hal dimaksud surat perjanjian kerja, selanjutnya saat menerima dokumen berupa legalitas atas kepemilikikan dan/atau penguasaan dan dokumen lainnya terkait suatu properti dari pemberi tugas dan kemudian diimplementasikan dengan memberikan opini nilai terhadap properti. Peristiwa yang terjadi dalam proses penilaian, “Ini merupakan rangkaian peristiwa hukum,” Alek menegaskan.
Karena itu, lanjutnya, semua penilai berpotensi mendapatkan gugatan dan/atau aduan atas hal apa yang dikerjakan oleh penilai tersebut. Konstruksi berpikirnya sekali lagi, demikian Alek Prabudi menjelaskan, adalah terdapatnya perbuatan hukum, karena semua peristiwa penilaian diawali dengan suatu perbuatan hukum.
“Jadi ada hal yang sangat perlu diperhatikan, pemahaman ini saya dapat dari diskusi panjang dengan para guru besar hukum yang mendidik saya. Yang saya tidak terima itu, terhadap suatu kondisi yang mana profesi penilai ditarik langsung kepada sanksi hukum pidana, padahal penilai tidak melakukan perbuatan jahatnya (actus reus),” ujarnya.
Sanksi hukum dengan kondisi seperti ini, menurutnya, merupakan subjektivitas penegak hukum, bukan berdasarkan kepada objektivitas hukum itu sendiri. Sesungguhnya, bagi Alex, sanksi hukum itu ada tahapannya, yaitu sanksi hukum administrasi, sanksi hukum perdata, dan terakhir adalah sanksi hukum pidana yang sangat jelasnya sifatnya adalah ultimum remedium. “Penolakan saya ini, tentunya ada alasan hukum yang jelas, salah satunya adalah penerapan sanksi hukum yang tidak sequent,” tandasnya.
Karena pekerjaan penilai diawali dengan perbuatan hukum, Alek menyarankan kepada para penilai untuk mempelajari ilmu hukum baik secara formal maupun nonformal. Tujuannya hanya untuk manambah wawasan hukum. Dengan bertambahnya wawasan hukum, jika tersandung masalah hukum, maka penilai tersebut akan lebih siap menghadapinya.
“Jika seorang penilai dalam suatu penugasan yang dilakukan sudah memahami akan kapasitas hukumnya, maka perlulah untuk menyusun analisis hukum yang komprehensif. Setidaknya, jika laporan penilaiannya dijadikan sebagai barang bukti, maka penegak hukum yang membacanya dapat mengetahui informasi tentang kronologi, dasar hukum, fakta, dokumen yang digunakan, dan posita (dalil yang digunakan) oleh penilai dalam melakukan suatu penugasan penilaian, hal ini kongkretnya untuk menghilangkan mensrea dari penilai,” tuturnya.
Selain menjadi seorang advokat, Alek Prabudi juga menjadi mediator non-hakim pada Pengadilan Negeri Stabat Kelas I B. Baginya, menjadi seorang mediator non-hakim adalah suatu tugas yang sangat baik, karena mendorong mereka yang berselisih atau bersengketa untuk berdamai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apalagi, sekarang ini restorative justice sedang digalakkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. “Perdamaian adalah suatu keputusan tertinggi dan terbaik dalam suatu masalah yang terjadi,” imbuhnya menutup wawancara.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi