Uswatun Khasanah dan Suka Duka Menjadi Penilai

Menjalani profesi sebagai seorang Penilai tidaklah mudah, karena ada banyak tantangan di dalamnya seperti sering bepergian sampai berkaitan dengan hukum. Tapi bagi Uswatun Khasanah, hal itu justru menjadi daya tariknya setelah menekuni profesi tersebut sejak tahun 1997.

Pada awalnya Uswatun Khasanah bercita-cita menjadi dosen. Namun, karena syarat menjadi dosen harus memiliki gelar S2, ia kemudian kuliah lagi. Sarjana ekonomi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini kemudian mengambil Program Studi Magister Ekonomika Pembangunan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gajah Mada dengan konsentrasi Manajemen Aset dan Penilaian Properti.

Bagi Uswatun, program studi yang dipilihnya tersebut terbilang baru dan asing. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa nyaman karena penilaian properti masih bagian dari ilmu ekonomi yang dipelajari sebelumnya. “Saya makin nyaman saat magang untuk mengambil pengalaman, dan akhirnya membuka Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) di Yogyakarta tahun 2009, lalu keterusan,” ucap Uswatun kepada Media Penilai, Rabu (29/11/2023).

Pada tahun 1997, diakui Uswatun, masih sangat jarang ada wanita yang berprofesi sebagai penilai lantaran pekerjaannya bukanlah di belakang meja, melainkan lebih sering ke lapangan bahkan sampai ke pelosok daerah. Namun, karena dirinya memiliki latar belakang keluarga yang punya usaha di bidang konstruksi, secara tidak langsung membuatnya paham tentang pekerjaan penilai. Selain itu, profesi ini bisa memberikannya pengalaman untuk mengunjungi berbagai wilayah layaknya seorang traveler.

Wanita kelahiran Pati, Jawa Tengah, ini mengaku sempat diragukan kemampuannya sebagai penilai hanya karena dirinya seorang perempuan. Tapi hal itu justru menambah semangatnya untuk membuktikan kalau dirinya bisa bekerja secara profesional dan merampungkan tugasnya dengan baik.

“Awal-awal berkecimpung, begitu tahu disuruh menilai dan harus ke lapangan, ada paramater atau stigma dari pria, ‘kok wanita, apa bisa? Tapi tantangan itu jadi satu motivasi untuk dibuktikan. Saya jawab dengan karya nyata. Saya kadang butuh sentilan dan pecutan agar motivasi jadi lebih kuat, serta yakin saya mampu dan bisa, tunggu saja,” tegasnya.

Menurutnya, baik lelaki maupun wanita pada prinsipnya harus profesional dalam pekerjaan. Semua orang punya tantangan dan rintangan. “Harus dibedakan antara urusan pribadi, keluarga, serta pekerjaan. Karena wanita ada kewajiban megurus suami, anak, keluarga, quality time dan sebagainya, di tengah keterbatasan waktu itu memang jadi tantangan sih,” tambah Uswatun yang pernah menjadi Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Masyarakat Profesi Penilai Indonesia  (MAPPI) periode 2014-2021 ini.

Tantangan seorang penilai, menurut Uswatun, semakin lama semakin berat. Apalagi di dalamnya terdapat beragam ilmu yang harus diketahui oleh penilai, mulai dari ilmu ekonomi, tekhnik, art, pertanian, hingga Hukum. “Semakin ke sini sepertinya hukum menjadi dominan, jadi first step menuju yang lain. Karena, sebelum melakukan pekerjaan kita harus tahu dasar hukum apa yang kita pakai untuk pekerjaan tersebut. Contohnya, pengadaan tanah, kita harus paham semua peraturannya. Jadi, saat ini yang paling berat adalah kita harus pahami semua hukum-hukum yang berlaku terhadap apa yang akan dikerjakan. Kalau tidak, ya bisa kacau,” ujarnya.

Jika persiapan seorang penilai sudah matang dalam menjalani pekerjaannya, Uswatun optimis, kendala atau kesulitan yang dihadapi bisa dengan mudah diatasi. Sama halnya ketika ia menangani proyek pengadaan tanah untuk pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) pada tahun 2016. Menurut Uswatun, itu merupakan proyek tersulit selama dirinya menjadi seorang penilai.

Hal itu disebabkan karena ada banyak penolakan dari warga di beberapa desa untuk 3.983 bidang tanah yang akan dibebaskan. Sementara, waktu yang disediakan cukup singkat, yaitu hanya 30 hari. Dengan bekal pengalaman merampungkan proyek jalur lingkar selatan di Yogyakarta dan punya data base wilayah sekitar, ia akhirnya berani mengambil proyek tersebut.

“Iya itu proyek tersulit saya, ngeri. Yang berat itu penolakan dari warga, kita bahkan tidak boleh masuk ke daerah mereka. Bukan hanya soal koordinasi, tapi psikis juga. Saya sempat disandera warga, tapi untungnya Kejaksaan Tinggi ikut mengamankan kita. Jadi itu seakan pertaruhan nyawa juga,” katanya.

Dari pengalaman beratnya itu, Uswatun berharap penilai bisa semakin didengar, diakui, dan dilindungi. Uswatun menegaskan, profesi penilai perlu dilindungi undang-undang layaknya profesi lain seperti notaris, akuntan, dan sebagainya. “Satu sisi penilai saat ini sedang berjibaku untuk memahami perkembangan dan tuntutannya semakin berat, tapi di sisi lain negara juga membutuhkan. Intinya, seorang penilai harus lebih independen, profesional, dan berintegritas. Jadi lebih aman,” Uswatun menutup percakapannya.

Leave a Reply