Pasar Tradisional

Penulis: Rulan Kis Rianto.

Saya sangat suka mengunjungi pasar tradisional di berbagai kota. Karena, bagi saya pasar tradisional punya energi yang melimpah dalam menularkan semangat kerja keras. Waktu paling ideal mengunjungi pasar tradisional adalah pagi hari, ketika barang dagangan masih lengkap sambil mencari sarapan pagi.

Soal jam buka ternyata tiap daerah bisa berbeda, tergantung tipe pasarnya juga. Saya pernah mencari sarapan di pasar tradisional di belakang Islamic Center Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan ternyata jam 7 WITA banyak usaha yang baru buka.

Ini berbeda sekali dengan Pasar Badung di Kota Denpasar, Bali, yang buka 24 jam dan dibagi dalam dua shift. Shift jam 10-22 WITA untuk para pedagang kuliner, sedangkan jam 22-10 kebanyakan untuk para pedagang sayuran dan bahan makanan. Hal yang sama dengan Pasar Cokroaminoto yang lokasinya di dekat Pasar Badung, juga di Bali. Ini bahkan lebih intens daripada aktivitas di Pasar Minggu Jakarta Selatan yang saya lihat masih ada jeda aktivitas terutama di jam 17-20 WIB.

Hampir setiap hari saya mengunjungi Pasar Kaget Kalibata, Jakarta Selatan, sejak saya tinggal di sini tahun 2005, sehingga saya hafal kondisi pasar yang sudah ada sejak tahun 1980-an ini. Lokasi pasar ada dalam sebuah jalan selebar 3-4 meter dan hanya sepanjang 100-200 meter. Ada 100-150 pedagang yang berjualan, dan jumlahnya tidak sama untuk tiap harinya. Kebanyakan mereka libur di hari Senin. Jika tiap lapak punya omzet Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta, berarti ada perputaran ekonomi sebesar Rp 50-150 juta per hari.

Saya mengamati, ada saja usaha orang untuk mencari uang. Ada yang sekadar berjualan iba, seperti seorang ibu lansia yang bersuara lantang tapi sambil mengucapkan doa-doa yang sebenarnya hanya untuk meminta uang dengan kantong plastik yang dibawanya. Ada yang model bisnisnya memindahkan barang dari pasar yang lebih besar, biasanya barangnya dari Pasar Minggu. Mereka berjualan sayuran, lauk-pauk mentah, dan buah-buahan. Ada juga pedagang kue dengan model bisnis yang sama, namun kuenya diambil dari Pasar Senen.

Ada yang sangat rumit sekali dan butuh kerja keras, seperti penjual masakan nasi ulam, nasi uduk, dan nasi pecel dengan segala pernak-pernik lauknya. Mereka biasanya sudah belanja di malam hari dan mulai masak di waktu dini hari, dan setelah itu berjualan hingga jam 11-12. Benar-benar butuh usaha keras.

Sebaliknya, ada yang mendapatkan duit dari mengelola parkir di  jalan selebar 1 meter dengan panjang kurang dari 50 meter yang cukup untuk menampung 10-15 sepeda motor pengunjung pasar. Ada juga yang berjualan suara, biasanya kaum tuna netra. Tampaknya mereka sudah punya jadwal dalam periode tertentu, bisa tiap satu-dua minggu. Ada juga yang hanya menjualkan masakan atau kue dari suplier yang lokasi di sekitar Kalibata.

Sebagian besar pedagang di sini adalah orang-orang yang sudah berjualan ketika saya awal tinggal di Kalibata 18 tahun yang lalu. Hanya sekitar 30-40 persen yang sering bergantian berjualan. Konsistensi ini sangat tidak mudah karena harus menjaga kualitas dagangan dan mengalahkan rasa malas. Mereka juga pasti punya kondisi di mana mereka malas berjualan. Hal ini juga berkaitan dengan manajemen keuangan, jangan sampai uang modal untuk usaha terpakai untuk kebutuhan pribadi. Hal ini yang seringkali membuat para pedagang tutup usaha.

Para pedagang pasar tradisional yang mampu bertahan lama ini juga punya kualitas kejujuran untuk menjaga pelanggan. Mereka memberikan harga miring jika ada barang yang kurang berkualitas, dan mereka jujur mengakui kalau barang tersebut kurang bagus. Seperti ketika saya membeli jeruk dari seorang ibu penjual, beliau akan memberi tahu kalau jeruk tersebut manis meski ukurannya kecil dan tidak menarik. Dan memang benar manis setelah saya coba. Hal ini membuat saya merasa lebih aman ketika membeli jeruk ke ibu ini.

Banyak di antara para pedagang ini yang sudah punya captive market, sehingga mereka bisa libur 1-2 bulan untuk pulang kampung tanpa takut kehilangan pelanggan. Contohnya, seperti pedagang lontong sayur beberapa waktu yang lalu bisa libur berjualan 1-2 bulan karena istrinya melahirkan di kampung halamannya di Brebes. Pedagang pecel yang memang enak rasanya bisa berjualan dengan jadwal seenaknya, kadang buka, kadang tutup, tapi ya tetap laku juga. Mereka yang bisa seperti ini memang dari segmen yang barrier to entry-nya tidak semudah penjual sayur yang tinggal memindahkan barang dengan persaingan lebih ketat.

Ada banyak hal menarik dari sebuah pasar tradisional. Kalau saya butuh semangat kerja keras, tinggal mendatangi pasar tradisional di pagi hari selepas jalan-jalan pagi. Saya seperti tertampar bahwa mereka saja bisa survive dengan ketidakpastian yang mereka hadapi setiap hari. Beberapa di antara mereka bahkan sudah buka sebelum subuh sehingga membuat saya tertular semangat kerja kerasnya.

Saya jadi teringat ucapan sastrawan Pramudya Ananta Toer yang mengatakan, “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.”

Leave a Reply