Ada Peran Penilai di Kereta Cepat Whoosh

Moda transportasi baru yang digandrungi masyarakat saat ini adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh yang secara resmi mulai beroperasi pada Oktober lalu. Whoosh patut menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia, bukan saja karena menjadi kereta cepat pertama di Indonesia, tapi juga di kawasan Asia Tenggara.

Pertengahan November 2023 lalu, rombongan para penilai juga berkesempatan menjajal Kereta Cepat Whoosh tersebut. Para penilai ini memang layak diberi kesempatan menjajal Whoosh, sebab mereka punya andil penting dalam rangkaian proses pembangunannya. Sebab, merekalah yang melakukan penilaian ganti kerugian pengadaan tanah untuk pembangunan jalur kereta cepat tersebut, sepanjang 143 kilometer dari Jakarta hingga Bandung.

Dalam proyek pembangunan kereta cepat yang dimulai sejak 2016 itu, para penilai ini termasuk profesional yang sudah harus mulai bekerja di tahap awal. Sebab, untuk memulai pembangunan sarana fisiknya, lahan yang digunakan sudah harus tersedia lebih dulu. Jika dalam proses penilaiannya bermasalah, misalnya, tahapan pembangunan kereta cepat tersebut juga akan terganggu.

Bayangkan, tanah yang harus dinilai untuk lintasan kereta cepat sepanjang 143 kilometer tersebut luasnya mencapai sekitar 6 juta meter persegi yang terdiri dari 6.331 bidang tanah yang harus dinilai. Untuk pengadaan tanah ini, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sampai harus menganggarkan Rp 113 triliun.

Karena ini merupakan proyek raksasa, ada beberapa Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang dilibatkan, yang menerjunkan banyak tenaga penilaian. Salah satu penilai yang terlibat dalam proyek raksasa ini adalah Dhita Kusuma A, salah satu Rekan dari KJPP Muttaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun (MBPRU). Menurut Dhita, KJPP MBRPU sampai harus membentuk tim yang melibatkan seluruh penilai di cabang-cabang KJPP MBPRU di beberapa daerah yang dilewati oleh trase kereta cepat ini.

“Jadi tak hanya dari pusat, cabang-cabang di daerah juga dilibatkan,” kata Dhita kepada Media Penilai, Kamis (30/11/2023).

Dhita mengaku, saat mengerjakan penilaian, banyak tantangan di lapangan. Misalnya, ketika harus menghadapi masyarakat yang marah karena tidak sepakat dengan nilai ganti rugi yang sudah ditetapkan. Namun, selaku penilai, Dhita merespons dengan cara memberikan penjelasan secara detail kepada masyarakat terkait penghitungan ganti rugi. Setelah memperoleh penjelasan, lanjutnya, biasanya masyarakat bisa menerima.

Diakui Dhita, memang ada beberapa pemilik bidang tanah yang merasa tidak puas, lalu mengajukan gugatan ke pengadilan. Hal tersebut menurut Dhita sebagai kewajaran, dan mekanisme gugatan seperti itu memang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Yang terpenting, bagi Dhita, penilai sudah melakukan pekerjaan sesuai standar dan prosedur. Meskipun, dalam beberapa kasus, proses sidangnya memakan waktu yang cukup lama.

Namun, seperti ditambahkan Dani Sanjaya, penilai dari KJPP MBPRU, gugatan masyarakat terkait keberatan atas nilai ganti rugi jumlahnya tidak begitu banyak. “Saya lupa berapa, tapi kalau tidak salah, 10 persen sepertinya tidak sampai,” ucapnya.

Minimnya keberatan dari masyarakat, kata Dhita, dikarenakan adanya upaya antisipasi sebelumnya, terkhusus di daerah-dearah rawan konflik. Sehingga proses pembebasan lahan dapat berjalan lebih smooth. Dan yang terpenting dalam proses pembebasan lahan adalah sosialiasi dan edukasi menyeluruh kepada masyarakat agar tak ada simpang siur informasi yang beredar.

Namun terlepas dari persoalan tersebut, Dhita dan Dani menyampaikan suka dukanya saat menyelesaikan pembebasan lahan untuk pembangunan jalur kereta cepat tersebut. Dhita menyebut dirinya menjadi punya banyak kenalan dan bertemu dengan orang baru, mengenal daerah dan kebiasaan masyarakat setempat beserta adat dan budayanya. Sementara dukanya, harus mengurangi waktu bersama keluarga.

“Sukanya apa ya, jadi kenal banyak orang, tahu macam-macam orang, terus kadang kita jadi tahu suatu wilayah  atau tempat yang kita dulu nggak pernah ke situ. Terus jadi tahu juga ya budaya, adat istiadat dan kebiasaan orang-orang itu. Banyak sih pelajarannya. Kalau dukanya ya pasti masalah waktu, dan itu wajar sih,” tutur Dhita.

Lain halnya dengan Dani. Selaku pihak yang terus berada di lapangan, dirinya harus merelakan waktu dengan keluarga. Ia mengaku pernah harus menginap di basecamp selama dua pekan lamanya untuk menyelesaikan pekerjaan pembebasan lahan tersebut. Biasanya putusan untuk menginap disebabkan jauhnya jarak antara wilayah pembebasan lahan dengan kediamannya. Bahkan, ada wilayah-wilayah yang sulit sinyal.

Selain itu, Dani juga dihadapkan pada medan yang sulit, di mana dia harus menyeberangi sungai untuk sampai ke wilayah pembebasan lahan yang sudah ditetapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

“Kalau keluarga sih sebenarnya sudah mengerti pekerjaan, tapi ‘kan ada anak-anak. Makanya sering video call,” ujarnya.

Salah satu tim penilai lain yang terlibat dalam penilaian pengadaan tanah untuk pembangunan jalur kereta Whoosh adalah KJPP Toto Suharto dan Rekan (T&R). Dalam proyek itu, Syaeful Radian selaku partner menyampaikan bahwa pihaknya ditugaskan untuk menilai tanah pengganti.

“Kebetulan kami bertugas di luar trase. Misalkan, ada tanah desa yang kepotong, nanti diganti. Nah kita yang menilai tanah pengganti,” katanya kepada Media Penilai, Kamis (23/11/2023).

Meskipun begitu, menurutnya, ternyata proses penilaiannya tidak berjalan mulus. Syaeful menyebut salah satu tantangannya adalah kesepakatan nilai atas tanah pengganti. Pada mulanya harga tanah sempat melonjak naik dan mahal lantaran proyek menggunakan konsep Business to Business (B2B), dan tidak menggunakan mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

“Karena merek kereta cepat Indonesia-China, B2B, harga tanah lebih mahal. Sehingga sulit untuk menggunakan Undang-Undang Pengadaan Tanah,” ujarnya.

Sebab, menurutnya, dalam posisi B2B, nilai tanah pengganti harus disepakati oleh semua pihak. Jika salah satu pihak menolak, maka proyek tidak bisa berjalan. Melihat situasi itu, akhirnya pemerintah memutuskan menggunakan UU Nomor 2 Tahun 2012. Akhirnya, penilai bisa mengeluarkan nilai penggantian wajar tanpa harus mengikuti harga pasar.

“Kalau pakai Undang-Undang Pengadaan Tanah, ada unsur pemaksa di situ. Kalau masyarakat tidak setuju bisa gugat ke pengadilan dan pembangunan tetap berjalan. Jadi, kalau keberatan dengan nilai, masyarakat bisa ajukan ke pengadilan negeri. Kalau keberatan dengan trase, itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” kata Syaeful.

Salah satunya berkat kerja keras para penilai ini, akhirnya proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh dapat terwujud, dapat dinikmati masyarakat, dan menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia.

Leave a Reply