Penilai Dua Generasi (1): Dari Aksa ke Fadhila

Seiring berlalunya waktu, profesi penilai yang mulai dikenal di Indonesia sejak era 1970-an, mulai “menurunkan” ilmunya kepada generasi berikutnya. Beberapa penilai jejaknya diikuti anak-anaknya, bahkan bekerja dalam satu kantor. Di antaranya adalah Aksa Nurdin dan Fadhila Sophiana.

Aksa Nurdin merupakan penilai senior dan pendiri Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Aksa, Nelson, dan Rekan (ANR), dan Fadhila Sophiana tak lain adalah putrinya. KJPP ANR semula bernama PT Hutama Penilai. Sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Penilai Publik, pada 2009 PT Hutama Penilai berganti nama menjadi KJPP ANR.

Berkantor pusat di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, KJPP ANR yang sudah beroperasi selama puluhan tahun ini masih bisa terus eksis sampai sekarang, dan berhasil melalui badai pandemi Covid-19.

Aksa Nurdin sudah menggeluti dunia penilaian lebih dari 25 tahun. Dan sebelum mendirikan PT Hutama Penilai dan KJPP ANR, Aksa pernah menjadi Assistant Vice President Departement Appraisal & Investigation di Bank PDFCI.

Ketekunan Aksa Nurdin menggeluti dunia penilaian ini awalnya tak membuat putra dan putrinya, salah satunya Fadhila Sophiana, ingin mengikuti jejaknya. Saat awal bergabung dengan KJPP ANR, Fadhila Sophiana mengaku hanya untuk mengisi waktu luang setelah berhenti dari perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya. Namun, seiring berjalannya waktu, wanita yang akrab disapa Dhila ini malah merasa nyaman dengan menekuni profesi penilai.

“Sambil nunggu cari kerja di tempat lain saya kerja di KJPP ANR. Setelah itu saya coba ikut pendidikan P1 dan P2 ternyata langsung lulus, ya udah lanjut terus sampai sekarang. Mungkin sama seperti yang generasi kedua di KJPP lain, istilahnya kecemplung,” ucap Dhila.

Menurut Dhila, bagi yang suka tantangan, sebenarnya profesi ini cukup menarik dan menyenangkan karena bisa sambil traveling. “Jadi tahu daerah lain yang belum tentu bisa didatangi jika tidak jadi penilai. Jangan terlalu takut tapi tetap waspada. Itu sih yang diamanatkan ayah untuk jadi seorang penilai,” tambahnya.

Memiliki latar belakang pendidikan S1 jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian dan Magister Ekonomi Pembangunan, yang keduanya ia rampungkan di Universitas Gajah Mada (UGM), membuat Dhila seakan memiliki modal ilmu untuk terjun menjadi seorang penilai. Namun, diakuinya, sebelum bergabung ke KJPP, ia sama sekali belum mengetahui secara detail perihal pekerjaan penilai.

“Kalau kaitan ilmu kuliah ke penilai itu teknologi pangan dan hasil pertanian kan macam-macam, ada ekonominya, wirausaha, pabrik, jadi saya rasa cukup nyambung. Selain itu, dari P1 dan P2 ibaratnya belajar dari situ, semua memang dari nol awalnya,” tuturnya.

Namun diakui Dhila, menjadi seorang penilai ataupun pengurus KJPP tidak mungkin terlepas dari tantangan atau rintangan. Faktor keluarga seakan menjadi kekuatan terbesar agar bisnis yang dijalaninya itu bisa terus berjalan.

“Jujur kami terbantu sama pekerjaan-pekerjaan yang belum terbayar dan Alhamdulillah pas pandemi dibayar, jadi agak terbantu. Kalau soal kesulitan tentunya persaingan usaha karena semakin banyak dan terkait peraturan yang semakin ke sini makin ketat. Kami pun harus ikuti serta adaptasi,” ujar Dhila.

Ke depan, Dhila berharap KJPP dan penilai bisa lebih dihargai, tidak dipandang sebelah mata. Ia juga berharap profesi penilai bisa lebih dikenal secara baik oleh masyarakat luas. Ketika disinggung apakah KJPP ANR bisa sampai ke generasi ketiga, ia menjawab, “Kalau minat ya dukung-dukung saja, dibebaskan kok.”

Leave a Reply