Marak Penilai Internal, Pasar Penilai di Daerah Susut

Maraknya praktik penilaian yang dilakukan penilai internal di lingkungan perbankan menyebabkan pasar penilai di daerah susut hingga 40%. Dampak lanjutannya, terjadi banting-bantingan fee atau imbal jasa penilaian.

Hal tersebut diungkapkan Tomok Manurung, salah satu pimpinan cabang Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) di Palembang, Sumatera Selatan. “Pasar profesi kita ini, sudah ada pekerjaan pemerintah diambil oleh penilai pemerintah, ini ada lagi penilai internal, itu sah dan memang ada aturannya. Tapi nanti, besok-besok, orang bisa bikin penilai sendiri-sendiri,” ucap Tomok kepada Media Penlai, Rabu (6/12/2023).

Menurutnya, praktik penilaian yang dilakukan penilai internal kian marak setelah ada relaksasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2018. Sebelumnya, penilaian aset produktif yang berasal dari debitur atau kelompok peminjam dengan jumlah lebih dari Rp 5 miliar wajib dilakukan penilai independen. Kini, penilaian yang wajib dilakukan penilai independen hanya untuk aset di atas Rp 10 miliar. Artinya, untuk peminjaman dengan jumlah sampai dengan Rp 10 miliar, penilaian asetnya bisa dilakukan oleh penilai internal bank. Aturan ini berlaku untuk bank konvensional dan bank syariah.

“Hal tersebut tentunya memberikan dampak kepada penilai, khususnya mereka yang berada di daerah,” tandas Tomok. Sebagai penilai yang berada di daerah, Tomok merasakan benar keresahan yang dialami penilai di daerah.

Saat ini, menurutnya, cakupan pasar penilai di daerah semakin terbatas. Padahal, menurutnya, selama ini pasar terbesar penilai di daerah adalah perbankan baik untuk penilaian jaminan utang maupun lelang. “Sekarang mereka punya penilai internal sendiri dan aturannya sudah direlaksasi seperti itu,” ujar Tomok.

Akibatnya, berdasarkan pengamatan Tomok, pasar penilai di daerah susut hingga 40%. Tomok pun yakin, pasar penilai independen di daerah akan semakin tergerus lagi lantaran bank kian gencar mengadakan pendidikan penilai. Secara tegas ia tidak mempersoalkan perihal pendidikan penilai yang dilakukan oleh bank lantaran hak setiap orang untuk meningkatkan kompetensinya. Namun, yang jadi persoalan baginya adalah soal kewenangan melakukan penilaian.

“Karena sulitnya dapat pekerjaan itu. Jadi efeknya pekerjaan sedikit, tapi direbut banyak orang. Maka terjadilah banting-banting harga. Saya juga tanya orang-orang lelang di bank, yang dikasih ke KJPP beberapa ada yang berisiko dan tidak tertangani. Ini hanya informasi dari teman-teman, tidak semuanya begitu. Kalau tidak tertangani, artinya penilai internal sedang penuh atau pekerjaan ini ada risiko, lalu tidak ada tenaga ahlinya,” Tomok menjelaskan.

Menurut Tomok, di Palembang saat ini sudah ada 17 KJPP dan dia prediksi jumlahnya akan bertambah. Menurutnya, hal itu tak dapat dihindari dan lumrah, karena pendidikan di bidang profesi penilaian memang terus dilakukan. Namun, imbuhnya, jika tidak ada solusi dari keresahan yang dialami penilai di daerah, maka efek banting harga atau perang tarif imbal jasa profesi akan terus terjadi seiring menciutnya pasar.

“Karena ini kan peraturan OJK. Intinya kenapa mereka bisa lakukan itu, karena mereka punya aturan, jadi tak melanggar hukum,” katanya. Tomok berharap, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) terus berusaha memperjuangkan anggotanya. “Kalau perlu penilai internal ini distop. Mereka bisa survei, tapi tidak bisa menerbitkan laporan penilaian, yang sebaiknya memang dilakukan oleh penilai publik yang bernaung di KJPP. Berhasil atau tidak, itu soal belakangan. Yang penting berjuang,” tegasnya.

Leave a Reply