Teknik Penilaian Kekayaan Intelektual dari Russell L Parr

Buku karya Russell L Parr berjudul Intellectual Property Valuation, Exploitation, and Infringement Damages ini wajib dibaca bagi penilai kekayaan intelektual atau intellectual property (IP). Sebab, buku ini mengulas secara mendetail cara-cara melakukan penilaian terhadap kekayaan intelektual, termasuk di dalamnya adalah aset tak berwujud atau intangible assets (IA).

Buku ini ditulis oleh orang yang sangat kompeten di bidangnya. Sebab, Russell L Parr yang memang dikenal sebagai pakar kawakan di bidang pengelolaan dan valuasi kekayaan intelektual. Russel Parr telah menerbitkan belasan buku terkait kekayaan intelektual yang diterbitkan dalam beberapa bahasa. Selain Bahasa Inggris, buku-bukunya juga diterbitkan dalam Bahasa Jepang, Korea, Italia, dan bahkan Mandarin. Ia juga aktif menulis di berbagai jurnal profesional, dan berbicara di lebih dari 30 konferensi internasional mengenai valuasi teknologi dan kekayaan intelektual.

Russel Parr sendiri merupakan Presiden Intellectual Property Research Associates (IPRA) Inc. (www.ipresearch.com) dan kaya akan pengalaman dalam mengerjakan proyek-proyek terkait pengelolaan dan valuasi kekayaan intelektual. Misalnya, penanganan portfolio paten AT&T ke perusahaan lain atau penilaian dan studi terhadap royalty rate untuk beragam industri, mulai dari perusahaan telekomunikasi, farmasi, semikonduktor, teknologi, perusahaan baterai, otomotif, laser, pertanian, bioteknologi, software, sistem distribusi obat dan peralatan medis, bahkan termasuk hak cipta buku motivasi, video games, dan kosmetik.

Selain itu, Russel Parr juga menunjukkan dedikasinya dalam pengembangan metode-metode yang dapat secara akurat menilai kekayaan intelektual. Opininya banyak digunakan untuk menyelesaikan perjanjian lisensi, akuisisi, penetapan harga transfer, dukungan litigasi, pembiayaan berbasis jaminan, kemitraan usaha (joint-venture), dan kerusakan pelanggaran kekayaan intelektual.

Buku ini diterbitkan pertama kali di awal 1990-an dengan hanya setebal 230 halaman. Namun, pada edisi kelima yang terbit pada tahun 2018, jumlah halamannya membengkak hingga tiga kali lipat. Wajar saja sebenarnya, karena dalam rentang tiga dekade tersebut, dunia berubah sedemikian pesatnya, hingga banyak bagian buku di edisi awal itu nyaris seperti ditulis ulang di edisi kelima ini.

Berdasarkan buku edisi kelima ini, terdapat beberapa contoh perkembangan dunia yang berdampak pada penilaian kekayaan intelektual. Pertama, maraknya Joint-Venture (JV) di beberapa jenis usaha. Contohnya JV antara perusahaan otomotif dan perusahaan-perusahaan teknologi yang kemudian melahirkan kendaraan tanpa awak (automatous driving). Proses lahirnya desain dan produk manufakturnya kompleks semacam ini tentunya melibatkan banyak kekayaan intelektual dari beberapa perusahaan.

Kedua, perkembangan teknologi mobile phone telah membuat miliaran penduduk bumi berhenti menggunakan fix line phone. Sehingga secara alami, kekayaan intelektual dari perusahaan teknologi berbasis kabel ini langsung menjadi nyaris tidak bernilai lagi.

Ketiga, masifnya akuisisi kekayaan intelektual terhadap perusahaan-perusahaan komik, dan kemudian mengeksploitasi kekayaan intelektual dari perusahaan komik tersebut untuk melahirkan film-film blockbuster, seperti yang dilakukan Marvel, Warner Bros, hingga Disney, termasuk eksploitasi di theme park dan merchandising mereka. Hal ini telah mengubah cara dunia melihat potensi dan valuasi terhadap kekayaan intelektual. Para superhero seperti Avengers, Batman, Spiderman, bahkan tokoh imut seperti Mickey Mouse, Anna, dan Olaf telah terbukti sukses menghasilkan miliaran dollar AS setiap tahunnya, padahal sebelumnya para tokoh kartun tersebut belum pernah “dihargai” setinggi itu.

Keempat, raksasa perusahaan teknologi memanfaatkan big data dan teknologi digital sehingga mampu memproses entah berapa triliun data, untuk kemudian dapat memprediksi keputusan belanja seseorang, bahkan sebelum konsumen tersebut memutuskan untuk berbelanja di satu situs atau platform e-commerce. Proses dan teknologi yang sangat efisien ini terbukti sukses menghasilkan miliaran dollar AS dan mendongkrak valuasi perusahaan tersebut.

Kelima, media tradisional mengalami kehilangan popularitas dan penurunan pendapatan iklan secara signifikan, setelah beberapa media digital baru merambah ke seluruh sendi kehidupan kita. Google, Facebook, Tiktok, dan Instagram, misalnya, telah mengubah cara manusia “menikmati” media dan berinteraksi dengan sesama. Valuasi kekayaan intelektual dari media-media tradisional yang sebelumnya begitu dominan  langsung menyusut karenanya.

Keenam, kebiasaan kita berbelanja juga terus mengalami perubahan. Banyak konsumen meninggalkan shopping malls dan beralih menikmati gaya berbelanja menggunakan internet di handphone, entah itu lewat Amazon, Tokopedia, Shopee, atau bahkan sekadar hunting di live TikTok. Fenomena global ini terjadi di hampir seluruh belahan dunia, dan telah mengubah kebiasaan berbelanja dan kehidupan konsumen global.

Ketujuh, di beberapa Negara mulai banyak perusahaan yang menjadi semacam agregator atau pengepul kekayaan intelektual. Mereka mengumpulkan kekayaan intelektual dari beberapa perusahaan, dan kemudian me-monetize-nya sedemikian rupa. Ini benar-benar merupakan cara baru dalam mendulang cuan dengan memanfaatkan kekayaan intelektual.

Kedelapan, di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan negara-negara lain sudah memberlakukan kekayaan intelektual sebagai collateral financing. Artinya, kekayaan intelektual dapat digunakan sebagai jaminan untuk memperoleh pendanaan atau pinjaman dari institusi keuangan seperti bank.

Kesembilan, maraknya patent troll sebagai gangguan bagi banyak perusahaan high-tech global, termasuk ratusan bahkan ribuan tuntutan hukum atas pelanggaran hak cipta dan kekayaan intelektual. Bahkan, beberapa studi menunjukkan bahwa sekitar 85% valuasi dari perusahaan-perusahaan raksasa dunia itu dihasilkan oleh valuasi dari kekayaan intelektual dan intangable assets (IA) mereka.

Secara cermat, Russel Parr membagi buku setebal 670 halaman ini ke dalam empat bagian utama, yakni Pendahuluan (Introduction), Penilaian (Valuation), Eksploitasi (Exploitation), dan Kerusakan & Pelanggaran atas Kekayaan Intelektual (Infringement Damages).

Pada bagian pertama, kita akan akan dikenalkan dengan definisi dari apa itu kekayaan intelektual dan aset tak berwujud. Di buku ini dijelaskan bahwa kekayaan intelektual terdiri dari paten, merek dagang, hak cipta, dan rahasia dagang. Sedangkan, aset tak berwujud meliputi tenaga kerja terkumpul, kontrak, lisensi, perangkat lunak operasional, praktik dan prosedur, serta banyak hal lain yang diperlukan untuk mengintegrasikan kekayaan intelektual sebuah perusahaan menjadi entitas usaha yang berjalan (day to day operational).

Russel Parr menegaskan bahwa nilai dari aset-aset ini harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perusahaan. Untuk mengkuantifikasi nilai dari kekayaan intelektual dan aset tak berwujud, penting untuk sepenuhnya memahami sifat dan karakteristik ekonominya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman bahwa aset-aset ini tidak menciptakan nilai secara sendirian. Mereka mungkin menjadi inti dari penciptaan nilai, tetapi mereka harus diintegrasikan dengan aset-aset lain untuk dieksploitasi secara ekonomis. Aset-aset lain ini adalah aset-aset materi dan keuangan dari perusahaan. Oleh karena itu, hubungan antara kekayaan intelektual dan aset tak berwujud dengan perusahaan dibahas secara mendalam pada bagian ini.

Di bagian kedua, Russel Parr mengupas tentang teknik penilaian kekayaan intelektual dan aset tak berwujud. Dimulai dengan pembahasan tentang konsep dasar dan diikuti dengan perincian tentang berbagai metode penilaian dan analisis yang diperlukan untuk menerapkannya. Bab-bab dalam bagian ini menyajikan dan membahas pendekatan biaya, pasar, dan pendapatan dalam penilaian. Untuk penilaian kekayaan intelektual, akan terlihat bahwa hanya pendekatan pendapatan yang sesuai, dan bagian ini didominasi oleh pertimbangan terkait definisi manfaat ekonomi, waktu penerimaannya, dan risiko penerimaannya. Analisis arus kas diskonto digunakan untuk mengisolasi nilai kekayaan intelektual dari nilai keseluruhan perusahaan.

Pada bagian ketiga, “Eksploitasi”, membahas ragam strategi untuk eksploitasi atau pemanfaatan kekayaan intelektual dan berfokus pada JV dan lisensi. Bentuk-bentuk eksploitasi dilakukan dengan pembagian kekayaan intelektual dan bobot pemanfaatannya. Sehingga, nilai yang telah dibahas sebelumnya harus dialokasikan di antara pihak-pihak secara terpisah. Untuk eksploitasi kekayaan intelektual dalam JV dilakukan dengan pembagian sesuai dengan kepemilikannya, sedangkan untuk lisensi dilakukan dengan pembayaran royalti.

Tarif  royalti (royalty rate) adalah bentuk nilai lainnya. Ia mewakili dasar ekonomi dari perizinan dan dengan demikian pantas memiliki bagian tersendiri. Tarif royalti adalah bentuk nilai dalam hal mereka menetapkan harga di mana pemberi lisensi akan mengizinkan orang lain untuk menggunakan sebagian terbatas dari hak-hak kekayaan intelektual pemiliknya. Alih-alih harga ditetapkan sebagai jumlah lump-sum, mereka ditetapkan berdasarkan pembayaran seiring penggunaan (pay-as-you-go).

JV menjadi perhatian khusus pada bagian ini, karena aliansi semacam itu memerlukan pembentukan metode untuk secara tepat berbagi manfaat ekonomi dari hak-hak kekayaan intelektual yang disumbangkan ke dalam JV tersebut. Kadang-kadang royalti terlibat dalam transaksi ini, tetapi terkadang alokasi kepemilikan dalam JV tergantung pada nilai dari hak-hak kekayaan intelektual yang disumbangkan ke dalam JV.

Bagian keempat, “Kerusakan Pelanggaran”, menelusuri metode-metode yang diakui oleh pengadilan untuk mengukur kerusakan akibat pelanggaran kekayaan intelektual. Hukum dan metode untuk menentukan kerusakan akibat pelanggaran kekayaan intelektual, seperti paten, merek dagang, rahasia dagang, dan pelanggaran hak cipta berbeda, dan Russel membagikan metode yang sesuai untuk mengkuantifikasi kerusakan untuk properti-properti yang berbeda ini. Fokus besar diberikan pada menghitung keuntungan yang hilang dan royalti yang wajar, bersama dengan pembahasan aturan nilai seluruh pasar dan peningkatan terbaru dalam menetapkan kerusakan berdasarkan teori unit penjualan terkecil.

Di ujung buku, Russel Parr kembali bermurah hati dengan melampirkan empat lampiran yang detail. Pertama, kegagalan standar akuntansi untuk secara akurat mencerminkan kekayaan intelektual dan aset tak berwujud dalam neraca dan laporan laba rugi. Kedua, usia kekayaan intelektual dan aset tak berwujud dari waktu ke waktu. Ketiga, data tarif royalti untuk berbagai teknologi, merek dagang, hak cipta, dan farmasi. Dan, terakhir, diskusi komprehensif tentang risiko dan ketidakpastian yang menjadi inti dalam menilai kekayaan intelektual.

Singkatnya, buku dengan “banyak daging” ini memang luar biasa, tidak hanya didukung oleh ragam teori, hipotesa, dan kisah panjang pengalaman Russel Parr selama 30 tahun, namun juga diperkaya dengan contoh-contoh kasus di dunia nyata guna mengilustrasikan topik-topik yang teoretis. Contoh-contoh nyata tadi membuat buku ini menjadi lebih terasa nyata dibandingkan edisi-edisi sebelumnya, termasuk penjelasan nuansa dari penilaian lisensi dan analisa kerusakan. Pemahaman tentang kekayaan intelektual yang disampaikan Russel dalam buku ini telah menjadi masukan kritis dalam banyak pengambilan keputusan bisnis di dunia nyata, termasuk pelepasan aset, restrukturisasi, akuisisi, dan semua strategi yang digunakan oleh sebuah perusahaan untuk menciptakan nilai. Keseluruhannya secara utuh dapat menjadi pembelajaran bersama dalam ikhtiar memahami dan mengeksploitasi kekayaan intelektual.

Leave a Reply