Ufik Kurniasih dan Kontribusi Penilai pada Pembangunan

Ufik Kurniasih termasuk satu di antara perempuan penilai yang berkonsentrasi pada penilaian pertanahan. Sebagai penilai, Ufik Kurniasih pun bangga dapat berkontribusi pada proses pembangunan nasional.

Pada mulanya, Ufik Kurniasih tak menyangka bahwa dirinya akan berkecimpung di dunia penilaian. Setelah memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FE UMY), awalnya dia ingin bekerja di sektor perbankan atau menjadi bankir.

Namun, karena ajakan seorang teman, Ufik justru berbelok ke dunia penilaian. Itu terjadi pada pada tahun 1999. Kala itu dia mengaku belum mengenal profesi penilai. Apalagi saat itu penilai belum berkembang seperti saat ini. Saat itu badan usaha penilai masih berbentuk Perseroan Terbatas (PT), belum berubah menjadi Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Setahun dua tahun, Ufik mencoba menikmati profesi yang baru digelutinya. Awalnya dia belum menemukan sesuatu yang membuat dirinya nyaman. Tetapi setelah dijalani, Ufik mengaku jatuh hati dengan profesi penilai. Menurutnya, penilai adalah profesi yang menarik,  karena sembari bekerja, sekaligus bisa mengunjungi daerah-daerah yang belum pernah dia datangi untuk kepentingan survei.

“Waktu itu saya belum tahu apa itu penilai, hanya diajak teman. Saya tanya, penilai itu apa, katanya penilai itu orang yang melakukan penilaian jaminan yang nanti dijadikan agunan di bank. Lalu saya diajak survei rumah, survei pabrik. Mulai saat itu saya merasa, oh ternyata enak juga kerja di penilai, sering jalan-jalan,” kata Ufik kepada Media Penilai, Selasa (5/12).

Setelah lebih dari sepuluh tahun melakukan penilaian di sektor perbankan, pada tahun 2010 Ufik memutuskan untuk mengikuti Pendidikan Dasar Penilai (PDP) yang saat itu disebut dengan Pendidikan Penilaian Properti Tingkat Dasar (P1-P2) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Tiga tahun berselang atau tepatnya di tahun 2013, Ufik melanjutkan Pendidikan Lanjutan Penilaian 1 Properti (PLP1), dan setahun setelahnya menyelesaikan PLP2.

Kemudian pada tahun 2015, Ufik mengantongi lisensi sebagai penilai publik sekaligus juga mendaftar sebagai penilai pertanahan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Ufik menjelaskan alasan di balik keputusannya untuk menjadi penilai pertanahan. Pertama, karena dirinya ingin keluar dari jenis pekerjaan mainstream penilai, yang banyak berkutat di sektor perbankan.

“Kalau di sektor perbankan, saingan semakin banyak. Apalagi KJPP mulai banyak, dan pasti banting-bantingan harga. Kedua, penilai pertanahan lebih menjanjikan dari sisi finansial meski diketahui pekerjaan pengadaan tanah berisiko tinggi atau istilahnya high risk, high return ‘, maka sebagai penilai pertanahan harus bisa m-mitigasi risiko. Dan ketiga, ada kepuasan tersendiri bahwa kita sebagai penilai publik dan penilai pertanahan punya kontribusi terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia,” aku wanita kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, ini.

Meski di sisi lain, Ufik mengaku beban kerja yang diemban dalam penilaian pengadaan tanah juga cukup besar. Selain menyoal fisik, ada dampak yang harus dipikirkan penilai pasca melakukan penilaian ganti rugi atas satu proyek pengadaan tanah, yaitu respons masyarakat yang tidak sepakat dengan nilai ganti rugi.

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, masyarakat yang tak setuju atas nilai ganti rugi dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri setempat. Tapi persoalannya, lanjut Ufik, tak sedikit pula masyarakat yang memilih jalur di luar regulasi itu, seperti meminta mediasi kepada anggota DPRD atau Kejaksaan Tinggi. Dan dia akui bahwa hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi penilai pertanahan.

Riweuh-nya itu mungkin yang bikin penilai berpikir untuk mengambil penilai pertanahan. Ah, enggak usah ambil penilai pengadaan lahan. Banyak hal-hal yang harus dilakukan setelah laporan penilaian dilaksanakan, tidak selesai begitu saja. Ada musyawarah dengan warga, dan itu treatment-nya berbeda tiap warga,” tutur wanita bertitel Master of Economic of Development dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Sebagai penilai yang berkonsentrasi pada penilaian pertanahan, ada beberapa proyek pengadaan tanah yang berskala besar yang pernah ditangani Ufik. Di antaranya, pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo-Mantingan I, jalan tol Semarang-Kendal, jalan tol Batang-Pemalang, jalan tol Solo-Yogyakarta-Kulonprogo, jalan tol Semarang-Demak, jalan tol Yogyakarta-Bawen I, dan pengadaan tanah jalan tol Yogyakarta-Bawen II.

Leave a Reply