Tak Semua Kekayaan Intelektual Bisa Dijadikan Jaminan

Sebagai hal baru, penilaian intellectual property (IP) atau kekayaan intelektual (KI) tidak mudah dilakukan dan harus dengan kehati-hatian. Apalagi, tak semua KI dapat dijadikan jaminan utang di lembaga keuangan.

KI juga dikenal dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI), yang merupakan jenis kekayaan yang memuat kreasi tak mewujud dari intelektualitas. HaKI memiliki banyak jenis, dan banyak negara mengakui keberadaannya. Contoh yang paling dikenal adalah hak cipta, paten, merek dagang, dan rahasia dagang.

Hal tersebut diungkapkan Rudi M Safrudin, anggota tim penyusun Standar Penilaian Indonesia (SPI) 321 tentang Penilaian Kekayaan Intelektual untuk Penjaminan Utang pada public hearing Ekspos Draf Standar Penilaian Indonesia (SPI) 321 di Jakarta, akhir pekan kemarin.

“Tak semua KI bisa dijadikan jaminan utang. Apalagi, problem KI selama ini adalah tidak adanya secondary market yang aktif,” ujar Rudi Safrudin. Selain itu, imbuhnya, seringkali suatu KI seperti merek atau paten juga tidak bisa berdiri sendiri alias tergantung pada aset KI lainnya.

Rudi kemudian memberi contoh kasus, salah satu merek maskapai penerbangan ternama pernah dijadikan jaminan di bank senilai Rp 1 triliun. Dalam perkembangannya, maskapai tersebut bangkrut. Oleh bank, merek tersebut hendak dilelang namun tidak laku.

“Contoh lain, perusahaan jamu dengan merek dagang Nyonya Meneer belum lama ini dinyatakan bangkrut. Saya tidak tahu, apakah merek tersebut laku dijual? Apakah waktu dijual resepnya diikutsertakan juga? Ini contoh bahwa suatu aset KI seringkali tidak bisa berdiri sendiri,” Rudi menjelaskan.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, menurut Rudi, penyusunan SPI 321 ini juga dilakukan dengan kehati-hatian. Rudi juga menjelaskan, penyusunan SPI 321 yang memakan waktu 10 bulan ini tetap memerlukan masukan dari berbagai pihak demi penyempurnaannya. “Sudah pasti tidak disempurna, dan nanti akan kita perbaiki terus,” jelasnya.

Ketika memaparkan Ekspos Draf Standar Penilaian Indonesia (SPI) 321 dalam public hearing tersebut, Rudi menegaskan bahwa KI sebenarnya bagian dari apa yang disebut aset tak berwujud (intangible assets). Dan, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) telah memiliki standar penilaian untuk aset tak berwujud tersebut, yaitu SPI 320 tentang Penilaian Aset Tak Berwujud. Namun karena kekhususannya, dibuatlah SPI 321 ini. “Karena itu, SPI 321 ini dibuat berdasarkan dan harus dibaca sebagai bagian tak terpisahkan dari SPI 320,” tandasnya.

Dijelaskan Rudi, tujuan SPI ini adalah membantu penilai dalam rangka penyusunan laporan penilaian KI untuk tujuan penjaminan utang. Diakui Rudi, terdapat berbagai penilaian KI, namun yang dibahas dalam SPI ini secara khusus adalah penilaian KI untuk tujuan penjaminan utang. Dan dalam SPI ini, KI diartikan sebagai hak kekayaan intelektual.

Selain itu, SPI ini juga memberikan gambaran bagaimana karakteristik legal, fungsional, dan ekonomi mempengaruhi definisi KI yang merupakan objek penilaian, tingkat kedalaman investigasi, pilihan metode penilaian, dan analisis penilaian. Secara umum, menurutnya, penilaian KI menerapkan konsep, proses, dan metode yang biasa digunakan untuk penilaian-penilaian lainnya.

Namun, lanjutnya, penilaian KI untuk tujuan penjaminan utang harus dilakukan oleh penilai yang memenuhi persyaratan kompetensi dan terdaftar di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.  “Penilai juga harus memahami adanya risiko dalam penilaian KI untuk tujuan pinjaman karena dapat terjadi kesalahpahaman dan atau perselisihan antara kreditur dengan debitur. Karena itu, penilaian harus dilakukan dengan kehati-hatian dan independen,” ujarnya.

Leave a Reply