BRIN Gelar Pelatihan Penilai Kekayaan Intelektual

Untuk mendorong pembangunan nasional berbasis kekayaan intelektual (KI), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar kick off “Pelatihan bagi Valuator KI Indonesia”. Pelatihan ini dinilai penting karena profesi penilai merupakan bagian dari ekosistem pengembangan KI. Kick off “Pelatihan bagi Valuator KI Indonesia” dilaksanakan di Auditorium Lantai 3, Gedung B.J Habibie, Jakarta Pusat, Senin (11/12/2023).

Pelatihan ini terselenggara atas kerja sama antara BRIN dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan World Intellectual Property Organization (WIPO). Acara ini dihadiri Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dan diikuti oleh perwakilan dari beragam profesi, mulai dari konsultan, akademisi, dan pelaku industri kreatif.

Hadir sebagai pembicara adalah Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham Min Usihen, Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN Agus Haryono, anggota Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) Rudi M Safrudin, dan IP Finance and Valuation Specialist dari WIPO Michael Kos.

Dalam kesempatan tersebut, Laksana Tri Handoko menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan upaya strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Menurutnya, BRIN tidak hanya menjadi ujung tombak dalam pengembangan riset dan inovasi di Indonesia, tetapi juga menjadi pilar utama dalam menopang kemajuan ekonomi.

“Kebijakan pembangunan Indonesia saat ini telah meninggalkan pembangunan berbasis sumber daya alam menjadi pembangunan berbasis kekayaan intelektual. Kemajuan ekonomi dimotori dengan pemajuan kreativitas, ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga lebih berkelanjutan,” ujarnya.

Sementara itu, menurut Agus Haryono, kerja sama BRIN dengan Kemenkumham melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) ini konsisten dilakukan lantaran ekosistem riset, inovasi, dan KI tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, hasil dari kolaborasi ini sangat positif dan bisa meningkatkan angka hak paten yang didaftarkan dari BRIN tiap tahunnya. Pada tahun 2021 ada 128 paten, tahun 2022 menjadi 400 paten, dan di tahun ini dari target 600 paten menghasilkan 825 paten.

“Ada 159 KI yang dilisensikan dari paten yang dimiliki BRIN. Semoga ke depan bisa semakin banyak yang dikomersialkan, dan kerja sama dengan DJKI bisa lebih baik karena rangkaian proses dari peniliti BRIN tidak cuma untuk mereka sendiri, tapi juga salah satunya untuk peguruan tinggi,” kata Agus Haryono

Pada kesempatan yang sama, Min Usihen menegaskan bahwa penilai atau valuator punya peran sangat penting untuk memberikan penilaian terhadap sebuah KI, khususnya dalam tujuan mendapat agunan. Karena itu, lanjut Min Usihen, pengembangan ekosistem KI memerlukan kolaborasi berbagai pihak yang diibaratkannya sebagai pelumas agar semua berjalan dengan baik.

“Dalam perkembangan digitalisasi, KI menjadi aspek yang sangat penting untuk memacu ekonomi nasional, maka diperlukan kendaraan ekosistem KI, yaitu elemen kreasi, proteksi, dan utilisasi. Penilai atau valuator termasuk di bagian proteksi, yaitu salah satunya untuk perolehan hak KI,” kata Min Usihen.

Dalam acara ini, Rudi M Safrudin menegaskan bahwa MAPPI sudah merampungkan penyusunan SPI tentang Kekayaan Intelektual guna mendukung pengembangan ekonomi kreatif. Dijelaskan Rudi, Ekspos Draf SPI tersebut sudah dipublikasikan untuk memperoleh masukan dari para stakeholder.

“Penilai itu harus tahu apa yang dinilai karena KI ini masuk di aset tak berwujud. Contohnya kontrak dan sebagainya, dan tidak semua KI bisa dijaminkan karena misalnya berisiko, yaitu KI yang bergantung pada perusahaannya atau bergantung pada KI lain. Contoh rumah makan yang punya merek, tak bisa dijaminkan begitu saja, tapi juga harus ada resepnya. Jadi KI untuk dijadikan jaminan harus didaftarkan, perlu assesment juga. Penilai bukan competence person untuk semua bidang termasuk KI. Perlu pilot project dan evaluasi agar bisa berjalan sesuai secara kaidah,” jelasnya.

Michael Kos yang hadir secara daring menyampaikan bahwa penilaian KI secara global mengalami peningkatan sebanyak 10 kali lipat selama 25 tahun terakhir. Menurutnya, kualitas, konsistensi, dan transparansi adalah kunci dari penilaian KI yang membutuhkan pendekatan profesional.

“Penilai itu tidak ahli di semua bidang. Ia berhak bertanya ke seorang pakar soal yang ia tangani. Mereka bisa ke komunitas atau lembaga pendidikan untuk memenuhi tugasnya,” kata Michael.

Leave a Reply