Kasus di Pengadaan Tanah Mendominasi Aduan ke Dewan Penilai

Selama lima tahun terakhir, sejak 2019 hingga September 2023 terdapat 340 kasus yang diadukan ke Dewan Penilai Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Dari jumlah tersebut, yang mendominasi adalah kasus penilaian pengadaan tanah baik skala besar maupun skala kecil. Bahkan, sampai ada penilai yang masuk bui. Dewan Penilai mendorong agar penilai tetap menaati Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI) dan Standar Penilaian Indonesia (SPI).

“Ketika mereka tidak bekerja sesuai dengan KEPI dan SPI, maka akan jadi masalah,” kata Ketua Dewan Penilai MAPPI Dewi Smaragdina atau yang biasa dipanggil Dina kepada Media Penilai, Rabu (13/12/2023).

Berdasarkan data di Dewan Penilai, dalam lima tahun terakhir ini, jumlah aduan kasus penilaian pengadaan tanah skala besar mencapai 34,1% atau 116 kasus. Urutan berikutnya adalah kasus penilaian pengadaan tanah skala kecil, 16,2% atau 55 kasus. Berikutnya adalah pemalsuan sebanyak 11,2% atau 38 kasus.

Dina juga menjelaskan, pada periode 2019 sampai November 2023, jumlah kasus yang paling tinggi terjadi di tahun 2022, yaitu mencapai 94 kasus. Sedangkan, tahun 2019 ada 64 kasus, tahun 2020 ada 44 kasus, tahun 2021 terdapat 72 kasus, dan di tahun 2023, sampai November, tercatat ada 71 kasus.

“Tahun 2022 itu kenapa bisa tinggi sampai 94 kasus, menurut saya, karena sebelumnya pandemi Covid 19, orang mungkin masih bingung tidak memikirkan kasus. Tahun 2021 sudah mulai recovery, jadi meledaknya ya di tahun 2022. Mudah-mudahan tahun ini tidak lebih besar dari tahun lalu,” ucap Dina.

Menurut Dina, kasus yang dialami penilai rata-rata berasal dari pekerjaan pengadaan tanah, baik dari skala besar maupun kecil. Bahkan, ada penilai yang sampai ditahan aparat penegak hukum (APH) akibat kurangnya informasi tentang profesi tersebut. Menurutnya, hal ini tentu tak dapat dihindari mengingat profesi penilai punya risiko tersendiri.

“Sampai saat ini yang masih diperkarakan terkait data pembanding, karena di Indonesia belum punya bank data. Pada saat cari data pembanding, tidak bilang dari penilai, biasanya dengan alasan cari tanah atau mau beli tanah. Tapi ketika itu masuk ke APH, akan ditanya ketemu sama penilai apa tidak, dan akhirnya bisa dianggap data palsu serta masuk pasal pemalsuan data,” jelasnya.

“Di Kalimantan dan Makassar, ada penilai sampai ditahan. Kami masih belum tahu penyebabnya, masih kita pelajari. Karena di dua lokasi itu ada yang sampai ditahan, kita kemudian kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan sosialisasi bersama APH,” tambahnya.

Di bagian lain Dina menceritakan, jika ada kasus yang menimpa penilai sampai masuk ke meja hijau, Dewan Penilai akan mengikuti alur proses persidangan dan dapat menentukan ahli untuk kebutuhan pengadilan bersama Dewan Pimpinan Nasional (DPN) MAPPI jika memang diperlukan.

“Tahapannya bisa macam-macam, kita bagi-bagi tugas kalau sudah masuk pengadilan. Kita punya biro hukum, biasanya kita minta kerja sama dengan mereka, jadi  kita tidak sendiri,” tuturnya. Sebagai Ketua Dewan Penilai, Dina berharap kasus yang melibatkan penilai bisa dirampungkan di asosiasi atau diselesaikan secara perdata.

Untuk menekan kasus yang menimpa penilai, imbuhnya, Dewan Penilai sudah melakukan berbagai kegiatan, salah satunya adalah mitigasi risiko dan pembentukan unit kerja Dewan Penilai di Dewan Pengurus Daerah (DPD) MAPPI. Ke depan, Dewan Penilai berencana  membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan APH dan terus melakukan sosialisasi perihal tugas serta fungsi seorang penilai.

Dina juga mengingatkan akan pentingnya seorang penilai bekerja sesuai KEPI dan SPI. “Ketika mereka tidak bekerja sesuai KEPI dan SPI, maka akan jadi masalah. Selain itu, imbuhnya, adanya Undang-Undang (UU) Penilai juga penting, sebab yang datang mengadu ke Dewan Penilai biasanya juga membawa UU sebagai dasarnya, dan hierarkinya berbeda dengan KEPI dan SPI.

“Mudah-mudahan tidak lewat 2024 sudah ada UU Penilai dan ada bank data juga. Kita perlu itu, sangat penting, karena dengan itu sumbernya jelas, ketentuannya jelas, jadi penilai sejajar seperti profesi lain, contohnya akuntan dan sebagainya,” kata Dina.

Leave a Reply