Penilai Dua Generasi (4): Berkat Didikan Sang Ibu
Memiliki ibu yang berprofesi sebagai penilai dan berkesempatan meneruskan bisnis Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang dirintis oleh orangtuanya bukanlah perkara mudah bagi Satria Wicaksono. Pria yang menjabat sebagai Managing Partner di SISCO ini mengungkapkan, butuh jam terbang agar bisa menjalani bisnis tersebut secara profesional.
Sang ibu, Elly Herlina, sejak dini memang menanamkan karakter pada diri Satria untuk tidak pandang bulu dalam menjalani pekerjaan. Ia bahkan dituntut memulai bisnis ini dari bawah, meskipun dirinya adalah anak dari si pemilik KJPP.
“Profesional dalam keluarga itu susah ya. Saya anak, tapi secara hierarki di perusahan lebih tinggi dari orangtua, tetap aja karena budaya dan ada hal-hal tertentu yang sulit dikomunikasikan, sungkan dan segala macam. Kalau semua komitmen bisa berjalan, akhirnya jadi tantangan tersendiri,” ungkap Satria.
Bagi Satria, menjadi penilai profesional memang membutuhkan jam terbang. Pada awal meniti karier sebagai penilai yang sekantor dengan sang ibu, Satria mengaku susah berkomunikasi. Bahkan, bisa sebulan tidak saling berkomunikasi. “Tapi sekarang karena sudah biasa, hanya butuh satu atau dua jam setelah ada perdebatan, kami bisa makan bareng. Sekarang kalau ada masalah di kantor, ya buang di sana saja, jangan dibawa ke rumah,” tambahnya.
Satria menjelaskan, permasalahan umum yang dialami KJPP yang dikelola generasi kedua biasanya muncul ketika ada ide baru untuk mencoba mengubah pola yang sudah terbangun sebelumnya. Sebab, ada anggapan seakan tidak menghormati orangtua. Ada pula beban untuk membuktikan bisa lebih baik dari generasi pertama, dan tidak sekadar meneruskan apa yang sudah tersedia.
“Enaknya ada keterlibatan keluarga di KJPP dan cenderung bisa lebih percaya. Tak enaknya ya sulit sekali membudayakan profesionalitias dan membedakan mana yang terkait pekerjaan atau keluarga,” tutur Satria.
Saat ini SISCO memiliki 10 cabang. Sebelumnya ada 16 cabang. Dengan jumlah cabang tersebut, Satria mencoba mempertahankan bisnisnya dengan cara melakukan kaderisasi. Dengan cara itu, ia yakin semua pekerja akan punya rasa memiliki.
“Ibu sangat perhatian dengan kesejahteran pegawai, bahkan sampai urusan cemilan. Pesan beliau, jangan sampai pegawai susah atau tidak sejahtera. Saat pandemi Covid-19, misalnya, kita korbankan diri daripada pegawai susah. Pengurangan aset kita banyak, tapi pengurangan pegawai tidak ada,” kata Satria.
Satria mengakui bahwa bisnis KJPP saat ini beda dengan zaman ibunya. Selain yang menggeluti usaha jasa penilaian kian banyak, menurutnya, risiko yang diterima juga tidak bisa dianggap sepele. Atas dasar itulah ia kemudian menjajal beberapa bisnis lain, di antaranya adalah usaha kuliner.
Menurutnya, usaha KJPP bukanlah bisnis yang mudah untuk diturunkan ke generasi berikutnya. Semua tergantung kemampuan penerusnya, dan harus lebih mumpuni sehingga ia lebih memilih jenis usaha lain yang terbilang gampang untuk diwariskan.
“Keuntungan mengelola KJPP, kita jadi bisa belajar bisnis lain. Dengan wawasan itu, kita lebih semangat mencoba hal baru. Saya ada usaha sate di Jawa Timur, sudah ada tiga cabang. Ada juga ekspor rumput laut dan pengolahan limbah. Punya bisnis lain ini salah satunya ya untuk antisipasi karena KJPP sekarang berbeda, tidak seperti dulu,” tuturnya.
Meskipun sudah memiliki beberapa usaha lain, Satria mengaku tetap fokus dalam mengelola KJPP. Hanya, harapannya, ke depan profesi penilai harus bisa lebih dihormati dan tidak dipandang sebagai profesi kelas kedua. “Selain itu, teman-teman di profesi ini juga jangan hanya fokus ke penilaian saja, tapi juga punya konsep bisnis dengan branding yang baik,” ujarnya.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi