CCS, ESG, dan Dampaknya terhadap Hasil Penilaian

Penulis: Ir. Julham Satria, M.M., MAPPI (Cert.)*

Abstrak

Carbon Capture and Storage (CCS) akhir-akhir ini kembali mengemuka setelah sebelumnya masyarakat penilai memandang perlunya kembali menelaah terkait pemahaman yang mendalam bagi Penilai tentang Environmental, Social and Governance (ESG). Mengingat CCS menyangkut nilai ekonomi, maka Penilai perlu menelaah setidaknya apa yang dapat dikontribusikan Penilai dalam proses penilaian selaku insan Penilai yang profesional, berintegritas, independen. sekaligus prudent.

CCS merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (fuel gas emisions), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Sementara itu, ESG adalah standar/kriteria yang banyak digunakan untuk menilai dan mengukur risiko dan peluang suatu organisasi/perusahaan dalam mencapai kinerja keberlanjutannya. Langkah-langkah untuk memasukkan ESG ke dalam pendekatan penilaian, yaitu identifikasi isu-isu penting ESG, membuat matrik elemen yang berpengaruh, serta menentukan pengaruh (dampak) pada aspek financial, yaitu pendapatan (revenue), biaya (cost), aset/liabilitas (assets/liabilities), dan biaya modal (cost of capital). Diperlukan kehati-hatian dari Penilai dalam mengaplikasikan “insentif” bagi perusahaan yang telah mengimplementasikan ESG. Belum adanya kaidah baku (standar penilaian atau petunjuk teknis) dalam menerapkan “premi” bagi perusahaan yang telah menjalankan ESG, merupakan kendala dan pertimbangan tersendiri bagi Penilai dalam menghasilkan penilaian yang kredibel dan akurat.

Pendahuluan

Dalam rangka mengendalikan perubahan iklim, Pemerintah telah melakukan ratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Conuention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) yang di dalamnya memuat kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional. Tujuannya untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C (dua derajat celcius) hingga 1,5°C (satu koma lima derajat celcius) dari tingkat suhu praindustrialisasi.

Karbon sebagai indikator universal dalam mengukur kinerja upaya pengendalian perubahan iklim yang direfleksikan dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional, selain mempunyai nilai ekonomi yang penting dan memiliki dimensi internasional utamanya berupa manfaat ekonomi bagi masyarakat juga sebagai refleksi prinsip pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan sesuai amanat Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional atau Nationally Determined Contribution yang selanjutnya disingkat NDC adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement to the United Nations Frametaork Convention on Climate Change). Nilai Ekonomi Karbon, yang selanjutnya disingkat NEK adalah nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.

Gas Rumah Kaca yang selanjutnya disingkat GRK adalah gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Emisi GRK adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu. Ketahanan Iklim adalah kemampuan untuk mengantisipasi, mempersiapkan, dan merespon dampak, risiko, dan kerentanan akibat perubahan iklim pada wilayah dan kehidupan masyarakat.

Mitigasi Perubahan Iklim adalah usaha pengendalian untuk mengurangi risiko akibat Perubahan Iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan GRK dan penyimpanan/penguatan cadangan karbon dari berbagai sumber emisi. Aksi Mitigasi Perubahan Iklim adalah kegiatan yang dapat mengurangi Emisi GRK, meningkatkan serapan karbon dan/atau penyimpanan/penguatan cadangan karbon.

CCS dan ESG

CCS merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (fuel gas emissions), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi yang sudah cukup lama dikenal oleh kalangan industri. Penangkapan CO2 biasa digunakan dalam proses produksi hidrogen baik pada skala laboratorium maupun komersial. Sementara itu, pengangkutan dilakukan dengan menggunakan pipa atau tanker seperti pengangkut gas pada umumnya (LPG, LNG), sedangkan penyimpanan dilakukan ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi yang dapat menjadi perangkap gas hingga tidak lepas ke atmosfer, atau dapat pula diinjeksikan ke dalam laut pada kedalaman tertentu.

ESG adalah standar/kriteria yang banyak digunakan untuk menilai dan mengukur risiko dan peluang suatu organisasi/perusahaan dalam mencapai kinerja keberlanjutannya. ESG digunakan sebagai metrik utama dalam pengambilan keputusan investasi investor dan menjadi acuan bagi perusahaan untuk melaporkan dampak bisnisnya. ESG juga membantu bisnis menjadi berkelanjutan, beretika, dan dipercaya oleh berbagai investor. ESG merupakan serangkaian pertimbangan, termasuk isu lingkungan hidup, isu sosial, dan tata kelola perusahaan yang dapat menjadi pertimbangan dalam berinvestasi.

Perdagangan Karbon

Perdagangan Karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi Emisi GRK melalui kegiatan jual beli Unit Karbon. Perdagangan Emisi adalah mekanisme transaksi antara Pelaku Usaha yang memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi yang ditentukan. Pengimbangan Emisi GRK yang selanjutnya disebut Offset Emisi GRK adalah pengurangan Emisi GRK yang dilakukan oleh usaha dan/atau kegiatan untuk mengkompensasi emisi yang dibuat di tempat lain.

Pungutan atas Karbon adalah pungutan negara, baik pusat maupun daerah yang dikenakan terhadap barang dan/atau jasa yang memiliki potensi dan/atau kandungan karbon dan/atau usaha dan/atau kegiatan yang memiliki potensi emisi karbon dan/atau mengemisikan karbon yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan/atau kinerja Aksi Mitigasi Perubahan Iklim.

Pelaksanaan penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dilakukan melalui mekanisme (a) Perdagangan Karbon, (b) Pembayaran Berbasis Kinerja, (c) Pungutan atas Karbon, dan/atau (d) mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditetapkan oleh Menteri (menteri apa? Atau Pemerintah aja sekalian bro).

 

 

Lembaga Validasi dan Verifikasi GRK-NEK

Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi atau Measurement, Reporting, and Verification yang selanjutnya disingkat MRV adalah kegiatan untuk memastikan bahwa data dan/atau informasi Aksi Mitigasi dan Aksi Adaptasi telah dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan/atau standar yang telah ditetapkan serta dijamin kebenarannya.

Komite Akreditasi Nasional Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyatakan bahwa empat perusahaan telah memenuhi standar internasional sebagai lembaga validasi dan verifikasi (LVV) GRK dan NEK. Keempat perusahaan itu adalah PT Sucofindo, PT TUV Rheinland, PT Mutuagung Lestari Tbk (MUTU), dan PT TUV Nord.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98/2021 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 21/2022, lembaga yang melakukan validasi dan verifikasi harus diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional berdasarkan SNI ISO/IEC 17029: 2019 dan ISO Series turunannya. Sebagai lembaga penilai kesesuaian (LPK), empat perusahaan itu merupakan anggota Perkumpulan Penilai Kesesuaian Seluruh Indonesia atau Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI), namun dari empat LVV ini belum ada yang memiliki ruang lingkup Carbon Capture and Storage (CCS).

Bursa Karbon

Bursa Karbon adalah suatu sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon, Perdagangan Karbon, dan status kepemilikan Unit Karbon. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Inventarisasi Emisi GRK adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan Emisi GRK secara berkala dari berbagai sumber emisi dan penyerapnya.

Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 mencakup perizinan perusahaan yang melakukan aktivitas perdagangan di bursa karbon dan pengawasan, termasuk tata kelola perusahaan yang melakukan aktivitas perdagangan di bursa karbon. Misalnya, komitmen ramah lingkungan dan lain sebagainya. Namun demikian, izin emisi untuk masing-masing perusahaan atau suatu industri yang dihitung sekaligus dapat diterbitkan izin atau permit atau sertifikasinya dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penerapan Keuangan Berkelanjutan juga mencakup pembiayaan transisi untuk proyek yang melakukan peralihan atau transformasi dari kegiatan yang menghasilkan emisi karbon tinggi menuju pada kegiatan yang lebih ramah lingkungan.

Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim yang selanjutnya disingkat SRN PPI adalah sistem pengelolaan, penyediaan data, dan informasi berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, dan nilai ekonomi karbon di Indonesia. Unit Karbon adalah bukti kepemilikan karbon dalam bentuk sertifikat atau persetujuan teknis yang dinyatakan dalam 1 (satu) ton karbon dioksida yang tercatat dalam SRN PPI.

Sertifikat Pengurangan Emisi GRK yang selanjutnya disingkat SPE-GRK adalah surat bentuk bukti pengurangan emisi oleh usaha dan/atau kegiatan yang telah melalui pengukuran, pelaporan, dan verifikasi atau measurement, reporting, and verification, serta tercatat dalam SRN PPI dalam bentuk nomor dan/atau kode registri. Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha yang selanjutnya disebut PTBAE-PU adalah penetapan batas atas emisi GRK bagi pelaku usaha dan/atau penetapan kuota emisi dalam periode penaatan tertentu bagi setiap pelaku usaha.

Kaitan ESG dengan Hasil Penilaian

ESG merupakan serangkaian pertimbangan, termasuk isu lingkungan hidup, isu sosial, dan tata kelola perusahaan yang dapat menjadi pertimbangan dalam berinvestasi. Sedangkan, CCS merupakan salah satu isu penting dari lingkungan dalam ESG.

Dokumen LTS-LCCR 2050 menuangkan tujuan Indonesia untuk mencapai puncak emisi gas rumah kaca pada tahun 2030, dengan penurunan bersih di sektor kehutanan dan penggunaan lahan serta menuju “net zero emission” atau nol karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat, di mana salah satu aksi yang dilakukan adalah penerapan CCS (Carbon Capture and Storage). LTS-LCCR 2050 memuat pemodelan dan skenario (skenario yang paling ambisius) bagaimana kondisi Indonesia pada 2050 dan apabila melakukan seluruh upaya sesuai skenario yang direncanakan maka pada 2060 atau dalam waktu yang lebih cepat, maka dapat tercapai “net zero emission” atau nol karbon.

Langkah-langkah untuk memasukkan ESG ke dalam pendekatan penilaian yaitu identifikasi isu-isu penting ESG, membuat matrik elemen yang berpengaruh, serta menentukan pengaruh (dampak) pada aspek finansial yaitu pendapatan (revenue), biaya (cost), aset/liabilitas (assets/liabilities), dan biaya modal (cost of capital).

Kesimpulan

Indonesia menjadikan NDC (Nationally Determined Contribution) dan LTS-LCCR 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050) sebagai satu paket yang membuat visi pada LTS-LCCR 2050 adalah yang dipegang untuk melaksanakan berbagai macam upaya demi mencapai target NDC pada 2030, yaitu penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional. Langkah konkret dari Pemerintah sangat diperlukan dalam perwujudan aksi CCS.

Diperlukan kehati-hatian dari Penilai dalam mengaplikasikan “insentif” bagi perusahaan yang telah mengimplementasikan ESG. Belum adanya kaidah baku (standar penilaian atau petunjuk teknis) dalam menerapkan “premi” bagi perusahaan yang telah menjalankan ESG, merupakan kendala dan pertimbangan tersendiri bagi Penilai dalam menghasilkan penilaian yang kredibel dan akurat.

Daftar Pustaka

INDONESIA Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Soedirdjo, T. (2023). ESG Aspect on Valuation. PPL Bidang Pasar Modal FPPM-MAPPI. Valuation Partner, PwC Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Wicaksono, D. I. (2023). Promoting Sustainable Investment in Indonesia Capital Market. PPL Bidang Pasar Modal FPPM-MAPPI. Head of Bussines Development, Indonesia Stock Exchange (IDX).

* Penulis adalah Direktur Eksekutif MAPPI (2020-2022) dan   Pemimpin KJPP JULHAM SATRIA.

Leave a Reply