Sejarah Penilai di Indonesia (3): Dari APPI, GAPPI, Hingga MAPPI

Terbentuknya asosiasi atau organisasi sebagai wadah berhimpunnya mereka yang bekerja di industri jasa penilaian cukup berliku. Terakhir, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) menjadi wadah tunggal.

Memasuki paro kedua era 1970-an, ketika jumlah perusahaan penilai terus bertambah dan orang yang bekerja sebagai penilai semakin banyak, digagaslah pembentukan asosiasi atau organisasi untuk menjadi wadah berhimpun. Maka, pada 1976, berdirilah Asosiasi Perusahaan Penilai Indonesia (APPI). Yang menjadi anggotanya adalah keempat perusahaan penilai yang sudah berdiri, yaitu Asian Appraisal Indonesia, Insal Utama, Sarana Penilai, dan Reka Artha.

Pendirian APPI dimaksudkan sebagai ikhtiar untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitas profesi penilai dan menjaga persaingan tetap berjalan sehat. Apalagi, saat itu masih belum ada regulasi khusus yang mengatur usaha jasa penilai. Selain itu, juga belum ada pendidikan khusus bagi profesi penilai.

Barulah, setahun kemudian, yaitu pada tahun 1977, pemerintah menerbitkan aturan yang secara khusus mengatur perusahaan jasa penilai melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Perdagangan Nomor 161/KP/VI/1977 tertanggal 07 Juli 1977 tentang Ketentuan Perizinan Usaha Penilaian —yang kelak diperbarui dengan SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 594/MPP/Kep/VIII/2002 tentang Ketentuan Perizinan Usaha Jasa Penilaian.

SK Nomor 161/KP/VI/1977 yang ditandatangani Menteri Perdagangan Radius Prawiro tersebut dicatat sebagai peraturan pertama yang secara khusus mengatur perusahaan jasa penilai di Indonesia. Sebelum itu, pemberian izin bagi perusahaan penilai didasarkan pada Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perdagangan dengan Nomor 56/th/1971 dan Nomor 103A/Kp/V/1971 tentang Ketentuan Kewenangan dalam Memberikan Izin Usaha Perdagangan seperti halnya perusahaan dagang pada umumnya.

Setelah APPI berdiri, barulah program-program pendidikan singkat dan pelatihan bidang penilaian dimulai. Untuk kali pertama, pendidikan penilai diadakan pada 1977, lima bulan setelah terbitnya SK Menteri Perdagangan Nomor Nomor 161/KP/VI/1977 tersebut.

Untuk penyelenggaraan pendidikan profesi penilai itu, APPI melakukan kontak dengan The American Society of Appraisers (ASA). Hasilnya, APPI dan ASA menjalin kerja sama untuk mengadakan pendidikan penilaian dalam bentuk workshop atau seminar selama 4 hari. Workshop itu dilaksanakan pada 22-25 November 1977, dengan topik The Appraisal of Real Estate, Machinery, and Equipment. Inilah untuk kali pertama di Indonesia diadakan pendidikan tentang penilaian.

Workshop itu menghadirkan pembicara yang merupakan penilai profesional dari Amerika Serikat, yaitu Jhon Alico yang merupakan Presiden ASA dan Sinclair, anggota ASA. Pendidikan singkat ini ternyata mampu membetot perhatian banyak kalangan. Terbukti, pesertanya terbilang cukup banyak, dan bukan hanya dari kalangan yang bekerja di perusahaan jasa penilai. Banyak pegawai pemerintah seperti dari Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan, pegawai-pegawai bank, dan pegawai dari perusahaan-perusahaan swasta yang mengikuti pendidikan singkat bidang penilaian ini. Peserta yang dari perusahaan jasa penilai di antaranya adalah Antonius Setyadi, Stefanus Gunadi, Hendra Gunawan, dan Nirboyo Adiputro.

Sejak itu, pendidikan serupa mulai rutin diadakan. Namun, selanjutnya pelaksanaannya bukan lagi dilakukan oleh APPI dan ASA, melainkan Balai Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK) Departemen Keuangan. Kali ini Antonius dan Stefanus mulai menjadi pengajar untuk menularkan ilmunya. Namun, penilai dari ASA, termasuk Jhon Alico, masih sering datang dengan status sebagai pembicara tamu.

Pelaksanaan pendidikan singkat seperti itu semakin mendorong banyak orang untuk mendirikan perusahaan jasa penilai atau menjadi penilai. Terbukti, setelah dilaksanakan program-program pendidikan singkat tersebut, banyak bermunculan perusahaan jasa penilai baru. Di antaranya ada Bintang Lima, Bintang Darma, dan lain sebagainya. Rupanya, tidak semua perusahaan jasa penilai yang muncul belakangan bisa menjadi anggota APPI. Sebab, APPI membuat persyaratan tertentu yang tidak dipenuhi oleh beberapa perusahaan jasa penilai yang baru. Akibat ketidakcocokan itu, maka pada 1979 muncul organisasi sejenis, yaitu Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPINDO).

Rupanya, Departemen Perdagangan menganggap munculnya dua asosiasi serupa di kala industri jasa penilaian masih baru mulai tumbuh justru tidak menguntungkan dan akan berdampak kurang baik bagi perkembangannya di masa-masa yang akan datang. Karena itulah, Departemen Perdagangan berusaha “mendamaikan” keduanya, dan hasilnya pada 27 Juni 1980, APPI dan GAPPINDO dilebur dan lahirlah asosiasi baru, yaitu Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia yang disingkat dengan GAPPI.

Seperti namanya, GAPPI merupakan asosiasi atau organisasi yang menjadi wadah bagi dan anggotanya terdiri dari perusahaan-perusahaan jasa penilai. Tentu saja, dengan demikian, organisasi ini dibentuk untuk mewadahi dan memperjuangkan kepentingan perusahaan jasa penilai. Sementara itu, mereka yang bekerja atau berprofesi sebagai penilai tidak punya wadah guna memperjuangkan kepentingannya. Padahal, tugas dan tanggung jawab profesi melekat dalam diri individu pada orang yang bekerja atau berprofesi sebagai penilai.

Karena itulah, tak lama setelah GAPPI terbentuk, dari kalangan penilai yang bernaung di bawah perusahaan jasa penilai, muncul keinginan untuk membentuk organisasi sendiri yang keanggotaannya terdiri atas pribadi-pribadi sebagai penilai, bukan perusahaan. Dan, setahun kemudian keinginan tersebut terwujud. Pada Selasa, 20 Oktober 1981, lahirlah asosiasi profesi penilai Indonesia dengan nama Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Yang layak dicatat adalah bahwa lahirnya MAPPI telah menandai babak baru perkembangan profesi penilai Indonesia.

Kedua organisasi ini, GAPPI dan MAPPI, terus berkembang beriringan meskipun tak jarang diwarnai gesekan. Seperti dilatari pembentukannya, GAPPI yang sejak awal memang dimaksudkan sebagai wadah dari perusahaan-perusahaan jasa penilai, diharapkan akan banyak membuat kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan penataan perusahaan jasa penilai. Untuk itu, bersama-sama pemerintah, dalam hal ini Departemen Perdagangan, GAPPI melakukan sertifikasi terhadap perusahaan jasa penilai untuk memastikan terjaminnya profesionalitas dan integritas perusahaan penyedia jasa penilai sehingga memperoleh kepercayaan dari para pengguna jasa. Karena itu, sasaran dari program kegiatan GAPPI adalah perusahaan-perusahaan jasa penilai.

Sementara itu, MAPPI, sesuai dengan latar belakang pembentukannya, diniatkan untuk menjaga dan meningkatkan kompetensi teknis bidang penilaian bagi para anggotanya. Karena itu, dari awal asosiasi ini dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan dan sertifikasi bagi para anggotanya. Dengan demikian, asosiasi ini diharapkan mampu mencetak penilai-penilai yang profesional, kompeten, dan berintegritas.

Pendek kata, keberadaan kedua organisasi ini diharapkan bisa saling melengkapi guna melahirkan perusahaan penyedia jasa penilaian dan profesi penilai yang profesional, kompeten, dan berintegritas. Kedua organisasi ini kemudian membentuk Yayasan Pendidikan Penilai Indonesia (YAPPI) yang bertugas untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penilai-penilai yang bekerja di bawah perusahaan penyedia jasa penilai.

***

Tulisan berseri tentang sejarah Profesi Penilai di Indonesia ini disarikan dari buku Breakthrough Profesionalisme Penilai Indonesia karya Doli D Siregar. Buku ini diterbitkan pada tahun 2013 atas kerja sama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan, kini Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK), dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Salah satu babnya membahas sejarah profesi penilai di Indonesia yang didasarkan pada riset dan serangkaian wawancara dengan para pelaku usaha jasa penilaian —Redaksi.

Leave a Reply