Sejarah Penilai di Indonesia (5): Munculnya Pendidikan Penilai dan SPI
Memasuki dekade 1990-an, usaha jasa penilaian di Indonesia mulai menemukan bentuk awalnya. Mulai dilengkapi dengan pendidikan profesi, standar penilaian, dan kode etik profesi. Namun, di periode ini pula, profesi penilai mengalami berada di bawah dualisme regulator.
Jika sebebelumnya tidak ada jalur pendidikan khusus untuk menjadi penilai publik, mulai awal 1990-an MAPPI sudah mulai membuka program-program pendidikan bidang penilaian. Berbekal pengalamannya sebagai anggota tim perencanaan pembentukan Program Diploma III Penilaian di STAN Malang, ketika menjabat sebagai Ketua Umum MAPPI periode 1991-1994, Stefanus Gunadi mulai mempersiapkan penyusunan kurikulum dan silabus untuk pendidikan penilai.
Akhirnya, pada periode ini untuk kali pertama MAPPI memiliki program designasi pendidikan penilaian yang kemudian dikenal dengan Program P1, P2, P3, dan P4 —yang kelak disebut Pendidikan Dasar Penilaian (PDP) 1-2 dan Pendidikan Lanjutan Penilaian (PLP) 1-2. Ketika itu, kurikulum program P1 dan P2 berkaitan dengan dasar-dasar penilaian, sedangkan P3 dan P4 sudah menjurus ke arah teknik penilaian properti dan penilaian bisnis. Dengan adanya program pendidikan ini, untuk menjadi penilai publik seseorang harus terlebih dulu mengikuti dan lulus program pendidikan penilaian P1 hingga P4, tidak seperti sebelumnya siapa saja bisa menjadi penilai.
Selain sudah tersedia jalur khusus pendidikannya, pada dekade 1990-an juga mulai disusun standar penilaian dan kode etik profesi, yang kemudian dikenal dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI) dan Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI). Yang patut dicatat, untuk kali pertama MAPPI menerbitkan SPI pada 1994. Bentuknya masih sangat sederhana, berukuran kecil dan hanya terdiri dari 14 halaman —bandingkan, misalnya, dengan SPI 2018 yang berukuran besar dan sangat tebal, mencapai ratusan halaman, dan masih dilengkapi dengan panduan penerapan serta petunjuk teknisnya.
SPI 1994 tersebut hanya terdiri atas standar penilaian properti dan standar penilaian mesin dengan panduan yang sangat sederhana pula. Yang menarik, SPI tersebut tidak diputuskan dan disahkan melalui forum tertinggi anggota, yaitu Musyawarah Nasional MAPPI. Setelah disusun oleh Stefanus selaku Ketua Umum MAPPI, SPI tersebut ditandatangani oleh para pejabat di departemen terkait yang dimaksudkan sebagai bukti pengesahan. Namun, bagaimana pun sederhananya, sejak saat itu telah ada standar praktek penilaian untuk para penilai di Indonesia.
Setelah ada jalur khusus program pendidikannya dan standar praktek penilaiannya, pada medio dekade 1990-an mulai ada sertifikasi bagi profesi penilai Indonesia untuk memastikan terjaminnya kompetensi bagi kegiatan penilaian yang kemudian dikenal dengan istilah Ujian Sertifikasi Profesi (USP). Hanya, aturan tentang sertifikasi ini justru datang dari Departemen Keuangan, bukan Departemen Perdagangan sebagai institusi pemerintah yang selama ini mengatur dan memberikan izin operasional bagi perusahaan penyedia jasa penilaian.
Pada 6 Februari 1996, Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad menerbitkan SK Nomor 57/KMK.017/1996 tentang Penilai Publik. Padahal, departemen ini pula yang pada awal 1970-an menolak memberikan izin operasional bagi perusahaan penyedia jasa penilaian. Tapi, dengan terbitnya SK tersebut, sejak 1996 Departemen Keuangan mulai ikut mengatur usaha jasa penilai. Dengan terbitnya SK tersebut, sejak itu pula usaha jasa penilai diatur dan berada di bawah dua departemen, yaitu Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan.
Secara keseluruhan, aturan yang dibuat oleh kedua departemen tersebut nyaris sama belaka. Seperti halnya Peraturan Menteri Perdagangan (PMP) Nomor 161/KP/VI/1977, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57/KMK.017/1996 ini juga mengatur soal perizinan usaha jasa penilai dan profesi penilai. Dengan demikian, baik perusahaan jasa penilai maupun penilai harus memperoleh izin dari dua departemen sekaligus.
Bedanya, jika dalam (PMP) Nomor 161/KP/VI/1977 ditentukan bahwa bentuk usaha jasa penilai hanya Perseroan Terbatas (PT), dalam PMK Nomor 57/KMK.017/1996 bentuk usaha jasa penilai ada tiga, yaitu Usaha Sendiri, Usaha Kerja Sama (partnership), dan Perseroan Terbatas (PT). Ketiga bentuk usaha tersebut harus memperoleh izin dari Menteri Keuangan, seperti usaha jasa penilai berbentuk PT yang harus memperoleh izin dari Menteri Perdagangan. Dengan demikian, inilah masa di mana usaha jasa penilai dan profesi penilai berada di bawah dualisme regulator sekaligus.
***
Tulisan berseri tentang sejarah Profesi Penilai di Indonesia ini disarikan dari buku Breakthrough Profesionalisme Penilai Indonesia karya Doli D Siregar. Buku ini diterbitkan pada tahun 2013 atas kerja sama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan, kini Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK), dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Salah satu babnya membahas sejarah profesi penilai di Indonesia yang didasarkan pada riset dan serangkaian wawancara dengan para pelaku usaha jasa penilaian —Redaksi.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi