Sejarah Penilai di Indonesia (6): Munculnya Ujian Sertifikasi Profesi Penilai

Seperti diceritakan sebelumnya, terbitnya PMK Nomor 57/KMK.017/1996 tentang Penilai Publik menandai babak baru perkembangan profesi penilai di Tanah Air. Sebab, berbeda dengan PMP Nomor 161/KP/VI/1977, di PMK Nomor 57/KMK.017/1996 sudah diatur masalah ketentuan tentang Ujian Sertifikasi Profesi (USP) yang menjadi salah satu syarat bagi penilai untuk memperoleh izin dari Menteri Keuangan.

Artinya, untuk memperoleh izin praktik dari Menteri Keuangan, seorang penilai harus sudah lulus USP yang bukti kelulusannya dikeluarkan oleh asosiasi. Dan, PMK ini secara tegas juga menyebut bahwa yang dimaksud dengan asosiasi adalah MAPPI. Sementara itu, untuk bisa mengikuti USP, seorang penilai juga harus tercatat sebagai anggota asosiasi, dan dalam hal ini adalah MAPPI.

Untuk menindaklanjuti PMK Nomor 57/KMK.017/1996 tersebut, MAPPI mulai merencanakan menggelar USP. Untuk itu MAPPI membentuk Dewan Penguji. Namun, penyelenggaraan USP untuk yang kali pertama ini bukannya tanpa persoalan. Sebab, saat itu tidak ada seorang pun penilai anggota MAPPI yang pernah mengikuti USP, karena memang belum pernah ada USP. Akan terlihat janggal jika anggota Dewan Penguji yang nota bene akan menguji penilai guna memperoleh sertifikasi profesi justru belum bersertifikat.

Namun, karena tujuannya memang baik, akhirnya ada “kompromi” antara MAPPI dengan Departemen Keuangan. MAPPI mengusulkan nama-nama anggotanya yang dinilai senior, kompeten, dan berpengalaman dalam bidang penilaian kepada Menteri Keuangan untuk diberi sertifikat dan izin sebagai penilai publik. Selanjutnya, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan yang memberikan sertifikasi dan izin kepada nama-nama yang diusulkan MAPPI tersebut, maka dibentuklah Dewan Penguji USP.

Ada 6 orang yang diusulkan untuk menjadi anggota Dewan Penguji USP. Mereka adalah Tedjalaksana (sebagai ketua), Doli D Siregar, Antonius Setiadi, Benny Supriyanto, Ami Sartono, dan Suhartanto B. Tentu saja, anggota Dewan Penguji USP tersebut merupakan orang-orang yang telah diberi “kehormatan” oleh Menteri Keuangan. Sebab, untuk pertama kalinya, merekalah yang diberi kewenangan untuk menguji para penilai yang hendak mengikuti USP untuk memperoleh izin praktik dari Menteri Keuangan. Dan setelah ada Dewan Penguji, untuk pertama kalinya penyelenggaraan USP bagi penilai diadakan pada 1998.

Bagaimana pun prosesnya, yang jelas babak baru untuk menjadi penilai publik telah dimulai, yaitu melalui USP. Setelah tersedia jalur pendidikannya meskipun bukan pendidikan formal, yaitu program designasi pendidikan penilaian P1 hingga P4, kini ada tahapan ujian sertifikasi profesi bagi penilai. Di samping itu, PMK tersebut juga secara tegas telah menyebutkan tentang SPI dan KEPI. Dalam Pasal 10 Ayat (1), misalnya, disebutkan bahwa dalam praktiknya penilai wajib berpedoman pada SPI, KEPI, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Adapun SPI dan KEPI yang dijadikan pedoman harus yang ditetapkan oleh asosiasi, lagi-lagi dalam hal ini tak lain adalah MAPPI.

Dengan demikian, lengkap sudah, setidaknya dalam kelembagaan, infrastruktur dan perangkat yang mengatur profesi penilai di Indonesia. Ada jalur pendidikan khususnya, ada tahap ujian sertifikasi profesi guna memastikan kompetensinya, dan ada standar penilaiannya serta kode etik profesinya yang dijadikan pedoman dasar yang berkaitan dengan prosedur dan praktik kegiatan penilaian.

Langkah Departemen Keuangan dalam mengatur usaha jasa penilai dan profesi penilai ini bisa dipahami lantaran dinamika dan perkembangan perekonomian nasional yang semakin kompleks. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan, mulai membutuhkan peran profesi penilai guna mendukung pembangunan perekonomian nasional. Setidaknya, hal itu bisa terbaca dari munculnya sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah sebelum terbitnya PMK Nomor 57/KMK.017/1996 tersebut.

Sebagai contoh, pemerintah membentuk Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) melalui Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 1992. Salah satu bagian dari DJLK yang berada di bawah Departemen Keuangan tersebut adalah Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai —yang nantinya bertransformasi menjadi Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) dan kemudian menjadi Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK).

Sebagai tindak lanjutnya, diterbitkan SK Menteri Keuangan Nomor 1254/KMK.01/1992 tentang Fungsi dan Tugas dari DJKLK, dan salah satunya berkaitan dengan pembinaan terhadap jasa penilai. Mulai diakuinya peran penting profesi penilai juga tergambar dalam pertimbangan diterbitkannya PMK Nomor 57/KMK.017/1996 tersebut. Di situ disebutkan bahwa dalam kegiatan pembangunan yang semakin meningkat diperlukan efesiensi dalam penggunaan dan alokasi dana. Adanya jasa penilai yang sehat merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan efesiensi tersebut. Untuk itulah diperlukan adanya pembinaan dan pengembangan jasa penilai sekaligus guna memberikan perlindungan kepada profesi dan pemakai jasa penilai.

***

Tulisan berseri tentang sejarah Profesi Penilai di Indonesia ini disarikan dari buku Breakthrough Profesionalisme Penilai Indonesia karya Doli D Siregar. Buku ini diterbitkan pada tahun 2013 atas kerja sama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan, kini Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK), dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Salah satu babnya membahas sejarah profesi penilai di Indonesia yang didasarkan pada riset dan serangkaian wawancara dengan para pelaku usaha jasa penilaian —Redaksi.

Leave a Reply