Sejarah Penilai di Indonesia (8): Munculnya Penilai Internal
Jika akhir-akhir ini soal penilai internal menjadi “isu panas”, terutama karena masifnya praktik penilaian yang dilakukan penilai internal bank, sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Di masa-masa awal perkembangan profesi penilai di Indonesia, keberadaan penilai internal juga menjadi perdebatan. Bedanya, ketika itu yang dirujuk adalah penilai internal pemerintah.
Jauh sebelum ada Direktorat Penilaian di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, para pegawai negeri sipil yang memperoleh tugas melakukan penilaian atau sebagai penilai bernaung di bawah lembaga perpajakan, yaitu Direktorat Jenderal Pajak. Dibentuknya penilai internal di lingkungan pemerintahan semula memang dimaksudkan untuk mendukung program peningkatan penerimaan pajak.
Pada kurun waktu 1970-an hingga 1980-an, pemerintah memang sedang menggalakkan reformasi bidang perpajakan. Pada 1960-an, lembaga yang mengurusi masalah pajak di Indonesia dikenal dengan nama Jawatan Pajak Hasil Bumi yang berada di bawah Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) di Direktorat Jenderal Moneter Departemen Keuangan. Kemudian, pada 1965 lembaga ini statusnya ditingkatkan menjadi direktorat sendiri, yaitu Direktorat IPEDA.
Pada 1976, direkrorat ini diserahkan ke Ditjen Pajak, namun pada 1985, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, namanya berganti lagi menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang berada di bawah Ditjen Pajak Departemen Keuangan. Pada saat UU PBB ini diundangkan, pemerintah menggalakkan program intensifikasi dan ekstensifikasi PBB guna mendongkrak penerimaan negara dari pajak.
Program intensifi kasi dan ekstensifi kasi PBB ini dibiayai oleh Bank Dunia (World Bank). Untuk mendukung program tersebut, pemerintah mencetak sebanyak mungkin tenaga penilai dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS) terutama yang berasal dari lingkungan Departemen Keuangan melalui berbagai program. Ketika itu, pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, di Indonesia mulai sering diadakan pendidikan singkat bidang penilaian, yang dilaksanakan oleh Asosiasi Perusahaan Penilai Indonesia (APPI) bersama Departemen Perdagangan, dan banyak PNS dari Departemen Keuangan menjadi peserta.
Setelah itu, kegiatan serupa sering diadakan di Balai Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK) milik Departemen Keuangan. Ini merupakan embrio pendidikan penilai di lingkungan Departemen Keuangan.
Secara resmi, pendidikan penilai untuk PBB diselenggarakan di BPLK pada 1986, setahun setelah UU PBB tersebut diundangkan. Yang ditugaskan mengikuti program pendidikan penilai ini adalah PNS dari Departemen Keuangan, terutama dari Direktorat PBB. Program pendidikan penilai berlangsung hingga 1987 dan berjalan sampai dengan 7 angkatan. Selain itu, banyak pegawai di Ditjen Pajak yang ditugaskan belajar ke sejumlah negara, terutama Malaysia, untuk belajar ilmu penilaian.
Namun, berbagai upaya itu ternyata masih jauh dari cukup dibandingkan dengan kebutuhannya. Program intensifikasi dan ekstensifikasi PBB untuk wilayah seluas Indonesia ini ternyata membutuhkan tenaga penilai dalam jumlah yang sangat banyak. Jumlah keluaran pendidikan penilai yang dilaksanakan BPLK kurang memadai, dan kemampuan keuangan pemerintah untuk membiayai program tugas belajar ke luar negeri juga terbatas. Ketika itu, di Indonesia juga belum ada pendidikan khusus bidang penilaian. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk membuat program pendidikan penilai sendiri.
Pada 1988 pemerintah membentuk Tim Perencanaan Pembukaan Program Diploma III. Tim ini kemudian mengadakan studi banding ke Universitas Teknologi Malaysia, Institut Teknologi Mara Malaysia, dan Institut Penilaian Negara Malaysia. Sepulang dari Malaysia, tim ini menyusun silabus, dan tak lama setelah itu pada 1989 dibukalah Program Diploma III Penilaian di Sekolah Tinggi Akuntansi Negeri (STAN) di Malang, Jawa Timur. Program pendidikan ini merupakan hasil kerja sama BPLK dengan ITM Malaysia. Kerja sama ini berakhir pada 1997/1998 di saat terjadi krisis ekonomi.
Selanjutnya, program pendidikan penilai tersebut menjadi Program Diploma Keuangan Spesialisasi Penilai PBB di STAN Jakarta. Ketika kerja sama dengan ITM Malaysia berakhir, sejak 1998 Direktorat PBB bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta untuk menyelenggarakan pendidikan S1-Manajemen dengan Konsentrasi Manajemen dan Penilaian Properti. Program ini hanya merupakan pendidikan ekstensi intern bagi pegawai Direktorat PBB lulusan Program Diploma III Penilaian PBB di STAN. Program serupa juga dilaksanakan pada jenjang S2, yaitu Magister Ekonomika Pembangunan-UGM konsentrasi Penilaian Properti.
Melalui program pendidikan inilah pemerintah akhirnya berhasil mencetak banyak tenaga penilai untuk kepentingan PBB. Dan, harus diakui, inilah asal muasal apa yang kemudian disebut dengan istilah penilai internal, tak lain adalah PNS yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan kegiatan penilaian —untuk kepentingan pemerintah.
Hasilnya ada lebih dari 500 penilai di Ditjen Pajak baik lulusan Program Diploma III Penilai STAN maupun sarjana S1 dan S2 bidang penilaian dari Bachelor in Estate Management ITM Malaysia dan Program Pascasarjana Jurusan Manajemen Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika perekonomian nasional semakin berkembang dan kian kompleks, kebutuhan pemerintah akan tenaga penilai semakin banyak dan tidak cuma untuk kepentingan PBB, melainkan juga untuk bidang-bidang lain. Misalnya, pemerintah membutuhkan tenaga penilai untuk kepentingan penilaian kekayaan negara, penertiban dan pengelolaan barang milik negara (BMN), atau pengurusan piutang dan lelang negara. Karena itulah, selain di Direktorat PBB Ditjen Pajak, sejak dekade 1990-an banyak lembaga/instansi pemerintah yang juga memiliki penilai internal, seperti pada Ditjen Lembaga Keuangan, Ditjen Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), atau Direktorat Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun, penilai internal atau penilai pemerintah memasuki babak baru ketika pada 2006 mulai dibentuk Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) di bawah Kementerian Keuangan. Pembentukan DJKN ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia. Salah satu direktorat yang ada di dalam struktur organisasi DJKN adalah Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Di saat yang sama, Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai berubah menjadi Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) dan berada di bawah Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan lantaran keberadaan Ditjen Lembaga Keuangan dihapus setelah terbentuk DJKN. Dengan dibentuknya Direktorat Penilaian Kekayaan Negara pada DJKN, maka tambah satu lagi lembaga pemerintah yang memiliki penilai internal.
Sejak saat itu, banyak PNS yang ditempatkan di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara dan kemudian diangkat menjadi penilai. Bedanya, jika di Direktorat PBB Ditjen Pajak penilai merupakan jabatan fungsional, di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara DJKN justru merupakan jabatan struktural.
***
Tulisan berseri tentang sejarah Profesi Penilai di Indonesia ini disarikan dari buku Breakthrough Profesionalisme Penilai Indonesia karya Doli D Siregar. Buku ini diterbitkan pada tahun 2013 atas kerja sama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan, kini Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK), dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Salah satu babnya membahas sejarah profesi penilai di Indonesia yang didasarkan pada riset dan serangkaian wawancara dengan para pelaku usaha jasa penilaian —Redaksi.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi