Pengalaman Mia Menjadi Penilai Internal
Mia Dianasari memiliki pengalaman sebagai penilai yang relatif komplit. Sebelum menjadi penilai publik dan memimpin Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), Mia pernah menjadi penilai internal pada sebuah bank swasta. Berdasarkan pengalamannya itu, ia memandang penting adanya standarisasi penilai internal bank.
Perempuan yang meraih gelar Master of Real Estate dari University of New South Wales Sydney, Australia pada 1996 ini sudah menggeluti profesi sebagai penilai publik sejak 2007. Namun, pada periode 2013-2015, ia bergabung dengan bank swasta nasional dengan posisi sebagai Vice President at Collateral Appraisal Management Head. Pada periode itulah, Mia merasakan menjadi penilai internal bank.
Saat mulai terjun menjadi penilai internal, ia mengakui tempatnya bekerja kala itu kurang update dengan Standar Penilai Indonesia (SPI). Karena itu, salah satu tugasnya adalah memperbaiki masalah penerapan standar pada kegiatan penilaian internal bank.
“Kebetulan tidak semua bank update dengan SPI, tidak menggunakan standar yang benar, termasuk di tempat saya. Mereka punya penilai internal sudah lama, tapi modelnya dulu ya gitu deh…,” kenang Mia.
Karena itu, ia mengaku sering berantem dengan tim bisnis di bank tempatnya bekerja. Menurut Mia, lazimnya di bank ada beberapa bagian dengan target masing-masing. Biasanya, tim bisnis ingin punya nasabah sebanyak-banyaknya karena dikejar target. Tapi, di sisi yang berbeda ada bagian lain, seperti risk management dan analis. “Jika terjadi macet, kan yang ditanyakan kenapa nilainya dulu segini,” ucap Mia.
Meskipun begitu, menurut Mia, tidak semua penilai internal kinerjanya kurang memuaskan atau tidak sesuai standar. Sebab, ada bank-bank tertentu yang peduli dengan pendidikan penilai internalnya. Hanya, ia mengakui bahwa kualitas penilai internal tidak seragam, terutama dalam menerapkan standar penilaian. “Itu menjadi pekerjaan rumah bagi regulator seperti Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” ujar Mia.
Menurut Mia, regulator harus melakukan pengumpulan data mana bank yang memiliki kepedulian pada pendidikan dan kompetensi penilai internal dan yang tidak. Ia juga mengusulkan agar penilai internal di bank harus bersertifikat khusus atau berizin. Sebab, aset yang dinilai untuk jaminan sudah dinaikkan dari Rp 5 miliar menjadi Rp 10 miliar.
“Karena itu, mematuhi standar bagi penilai internal sangat penting. Dulu diadakan penilai properti sederhana untuk membantu bank, tapi sekarang bank bikin sendiri penilai internal. Ini jadi berlawanan. KJPP sudah membuka cabang-cabang di daerah, sekarang pasarnya diambil bank dengan membikin penilai internal. Saya inginnya penilai internal distandarisasi seperti di KJPP,” tandas Mia.
Namun, Managing Partner di KJPP Mia dan Rekan ini juga tak lupa mengingkatkan kepada penilai publik dan pengelola KJPP tetap menjaga profesionalisme dalam bekerja. Sebab, berdasarkan pengalamannya selama menjadi penilai internal, ia menemukan beberapa kejadian yang mencoreng citra penilai. Hal itu dianggapnya sangat berpengaruh terhadap masa depan karier penilai, dan bisa menjadi salah satu alasan semakin banya bank menggunakan penilai internal.
Karena itu, Mia berharap semua penilai, baik yang bekerja di KJPP maupun bank, sama-sama saling berbenah untuk menjaga kompetensi, kualitas, dan profesionalitas. Hal itu penting tidak hanya untuk menjaga citra penilai, namun juga menghindari adanya pihak yang dirugikan dalam memberikan penilaian.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi