Sejarah Penilai di Indonesia (10): Musim Semi KJPP

Penataan usaha jasa penilai mulai tuntas pada Januari 2010 ketika seluruh kegiatan jasa penilaian sepenuhnya berubah dari Perseroan Terbatas (PT) dan Usaha Jasa Penilai (UJP) menjadi Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Di zaman itu, PT dan UJP akhirnya bertransformasi menjadi KJPP.

Setelah terbitnya PMK Nomor 01/PMK.01/2010 yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bentuk usaha jasa penilai yang wajib dimiliki oleh setiap penilai publik dalam memberikan jasa penilaian adalah KJPP, baik berupa KJPP Perseorangan maupun KJPP Persekutuan. Tidak dibolehkan lagi adanya usaha jasa penilaian  berbentuk  PT dan UJP.

Jika dirunut ke belakang, bentuk akhir usaha jasa penilai tersebut merupakan buah dari pergulatan yang sangat panjang dari seluruh stake holder usaha jasa penilaian. Ada beberapa kondisi yang menjadi latar belakang yang menuntut dilakukannya perubahan bentuk usaha jasa  penilai ini.

Pertama, berkaitan dengan pembatasan atau penyaringan penguasaan usaha jasa penilai. Sebab, seperti yang terjadi pada masa masa awal kemunculan perusahaan penyedia jasa penilaian yang ketika itu masih berbadan hukum PT, kepemilikan dan penguasaan usaha jasa  penilai berada di tangan para pemodal. Hal ini terlihat, ketika itu, siapa saja asal memiliki modal yang cukup bisa mendirikan dan mengelola perusahaan jasa penilai. Perusahaan-perusahaan penyedia jasa penilaian tersebut dimiliki dan sepenuhnya dikendalikan oleh para pemodal, tidak peduli apakah mereka memiliki latar belakang atau memahami bidang jasa penilaian atau tidak. Tidak peduli apakah mereka memahami standar penilaian dan kode etik penilai atau tidak.

Di perusahaan-perusahaan seperti ini, profesi penilai hanya menjadi salah satu bagian dari mesin perusahaan untuk menghasilkan uang. Status seorang penilai tak ubahnya sebagai karyawan biasa yang tidak memiliki akses dan hak untuk turut serta mengendalikan arah dan kebijakan perusahaan.

Kedua, berkaitan dengan tanggung jawab profesi. Seperti profesi- profesi lain pada umumnya, tanggung jawab atas hasil kegiatan penilaian juga melekat pada pribadi-pribadi orang yang menyandang profesi penilai tersebut. Dengan demikian, jika terjadi kesalahan pada proses, kegiatan, dan hasil penilaian tidak seharusnya tanggung jawab dan risiko dibebankan kepada orang atau pihak yang tidak turut serta melakukan kegiatan penilaian.

Pada usaha jasa penilai yang berbentuk PT, misalnya, karena tunduk pada Undang-Undang Perseoran Terbatas, jika penilai melakukan kesalahan, maka tanggung jawab dan risikonya dibebankan kepada direksi atau pengendali perusahaan. Sedangkan, penilai yang melakukan kesalahan bisa terbebas dari tanggung jawab dan risiko atas kesalahan yang dilakukan. Kenyataan ini bisa dinilai sebagai ketidakadilan dan sangat berbahaya karena sebagai profesional seorang penilai bisa terbebas dari tanggung jawab dan risiko atas kesalahan yang diperbuat. Padahal, sebagai profesional, seorang penilai tidak bisa lepas dan bebas dari tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan dan kesalahan yang diperbuat.

Kenyataan-kenyataan itulah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan yang mengubah bentuk usaha jasa penilai menjadi KJPP. Namun, sayangnya, kebijakan ini tidak didukung oleh persiapan yang benar-benar matang dan komprehensif sehingga transisinya tidak berjalan mulus dan perubahan itu masih menyisakan banyak masalah.

Fakta-fakta berikut adalah contohnya. Pertama, pembekuan atau likuidasi usaha jasa penilai berbentuk PT tidak dibarengi dengan jaring pengaman atau solusi yang bijak. Pokoknya, per 1 Januari 2010 usaha jasa penilai berbentuk PT dan UJP tidak diizinkan lagi memberikan jasa penilaian. Para penilai yang akan memberikan jasa penilaian harus terlebih dulu membentuk KJPP, baik KJPP  Perseorangan maupun KJPP Persekutuan. Artinya, bentuk usaha jasa penilai yang lama harus beku dan bubar begitu saja. Padahal, menurut catatan Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPI), ketika itu masih ada 117 usaha jasa penilai berbentuk PT. Karena jaringan pengaman dan solusinya tidak disiapkan, transisi ini menyisakan masalah yang tak terselesaikan dan tetap menggantung sampai saat ini.

Sebagai contoh, karena perusahaan tiba-tiba beku operasi, otomatis terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Ini menimbulkan gejolak serius di lingkungan perusahaan jasa penilai. Contoh lain yang lebih serius adalah masalah pengalihan aset dan permodalan. Begitu beku operasi,  aset dan permodalan perusahaan-perusahaan tersebut tak jelas nasibnya. Jika aset dan permodalannya dialihkan ke KJPP yang baru dibentuk, misalnya oleh penilai- penilai yang sebelumnya bekerja di perusahaan  penilai tersebut, selain prosesnya sangat rumit juga akan terkena beban pajak pengalihan aset atau modal yang sangat besar, sekitar 30 persen.

Karena itu, tidak sedikit perusahaan jasa penilai yang nasib aset dan permodalannya tak jelas atau dibiarkan status quo. Jika, misalnya, ada kebijakan pendukung berupa pembebasan atau keringanan pajak atau pengenaan pajak nol persen atas pengalihan aset atau modal dari PT ke KJPP, tentu aset-aset tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperkuat KJPP yang baru dibentuk. Namun, kebijakan tersebut sama sekali tidak disertai jaring pengaman atau solusi yang bijak.

Kedua, ketika itu proses pembentukan KJPP belum dilengkapi dengan cetak biru atau skenario untuk pengembangan usaha jasa penilai dalam jangka panjang. Prosesnya seperti dipaksakan melalui kewajiban-kewajiban dan persyaratan-persyaratan administratif belaka. Akibatnya, KJPP bermunculan bak jamur di musim hujan. Sebagai contoh, pada 2008 terdapat 68 KJPP. Per Juni 2012, jumlahnya meningkat menjadi 111 KJPP.

Namun, kebanyakan KJPP yang bermunculan tersebut belum didukung oleh permodalan, sumber daya manusia (SDM), dan tata kelola perusahaan yang cukup serta mumpuni. Karena aturan membolehkan adanya KJPP Perseorangan, misalnya, banyak penila publik yang sebelumnya bekerja pada perusahaan jasa penilai berbadan hukum PT kemudian mencoba peruntungan sendiri. Seorang diri, setelah keluar dari tempatnya bekerja, seorang penilai publik bisa langsung mendirikan KJPP sendiri. Bagaimana dengan permodalannya, atau dukungan SDM dan manajemen usahanya, tak ada standar yang harus diikuti. Yang penting terdaftar sebagai seorang penilai publik dan mengantungi izin praktik dari Menteri Keungan. Tidak ada aturan soal batasan minimum permodalan dan standar pengelolaan usaha. Akhirnya banyak penilai publik berkantung tipis menggandeng pemodal besar untuk mendirikan KJPP. Tentu, perjanjian dilakukan di bawah tangan, dan kepemilikan modal Persekutuan dikuasai oleh pemodalnya. Artinya, meskipun secara resmi KJPP tersebut dikendalikan oleh penilai publik, dalam praktiknya di lapangan pengendali adalah rekan persekutuan yang bukan penilai publik.

Hal yang sama juga berlaku untuk KJPP Persekutuan. Memang, sesuai regulasi ketika itu, selain didirikan sedikitnya oleh dua orang penilai publik, KJPP Persekutuan dimungkinkan didirikan oleh sedikitnya dua orang yang salah satunya bukan penilai publik. Namun, dengan syarat 60 persen dari modal Persekutuan dimiliki oleh penilai publik. Namun, beleid ini tidak menjamin adanya kecukupan modal bagi Persekutuan. Dan, yang banyak terjadi justru sebaliknya. Banyak  penilai publik berkantung tipis menggandeng pemodal besar untuk mendirikan KJPP. Tentu, perjanjian dilakukan di bawah tangan, dan kepemilikan modal Persekutuan dikuasai oleh pemodalnya. Artinya, meskipun secara resmi KJPP tersebut dikendalikan oleh penilai publik, dalam praktiknya di lapangan pengendali adalah rekan persekutuan yang bukan penilai publik.

Di saat yang sama, seringkali terjadi pembentukan “KJPP Persekutuan” tanpa melalui perencanaan yang matang. Misalnya, karena adanya kondisi yang memaksa, tanpa melalui perencanaan matang, dua orang penilai publik begitu saja mendirikan satu KJPP. Karena perusahaan jasa penilai yang berbentuk PT telah beku operasi, seorang penilai publik yang semula bekerja di perusahaan tersebut “harus” menemukan pasangan baru dari perusahaan lain yang juga beku operasi untuk bekerja sama dan mendirikan KJPP baru. Namun, tak lama kemudian terjadi “pecah kongsi”, sebab salah satu dari dua penilai publik di KJPP tersebut akhirnya mengakhiri persekutuan untuk kemudian membuat persekutuan baru dengan penilai publik lain. Lahirlah KJPP baru lagi. Seringkali terjadi, seorang penilai publik bisa berganti-ganti KJPP atau sekutu dalam kurun waktu yang pendek. Akhirnya, banyaknya nama KJPP yang timbul tenggelam telah menjadi fenomena yang lumrah.

Sumber foto: setkab.go.id.

Tulisan berseri tentang sejarah Profesi Penilai di Indonesia ini disarikan dari buku Breakthrough Profesionalisme Penilai Indonesia karya Doli D Siregar. Buku ini diterbitkan pada tahun 2013 atas kerja sama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Kementerian Keuangan, kini Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK), dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Salah satu babnya membahas sejarah profesi penilai di Indonesia yang didasarkan pada riset dan serangkaian wawancara dengan para pelaku usaha jasa penilaian —Redaksi.

Leave a Reply