Penetapan Nilai Limit Lelang Jadi Sorotan

Penetapan nilai limit dalam pelaksanaan lelang menjadi sorotan. Sebab, berpotensi menimbulkan gugatan hukum karena bisa dianggap tidak mencerminkan nilai utang (loan to value), merugikan negara, atau bahkan tidak memenuhi rasa keadilan.

Sorotan mengenai penetapan nilai limit dalam pelaksanaan lelang tersebut mengemuka pada Seminar Nasional bertajuk “Penetapan Nilai Limit dalam Pelaksanaan Lelang”. Seminar yang diselenggarakan atas kerja sama Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dengan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) ini berlangsung selama dua hari, Kamis dan Jumat, 18 dan 19 Januari 2024. Seminar ini digelar menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 122 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Pada hari pertama, seminar yang berlangsung di Hotel Tentrem Yogyakarta ini menghadirkan lima narasumber, yaitu Direktur Hukum dan Humas DJKN Tedy Syandriadi, Ketua Komite Penyusunan Standar Penilaian Indonesia Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (KPSPI MAPPI) Hamid Yusuf, Hakim Agung Kamar Pidana Prof Dr Surya Jaya, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Prof Wakhid Slamet Cipto, dan Kepala Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung Syaifudin Tagamal.

Dalam sambutannya, Direktur Lelang DJKN Joko Prihanto mengatakan, kinerja lelang di tahun 2023 menunjukkan angka yang sangat menggembirakan. Kegiatan transaksi lelang tahun 2023 menghasilkan mencapai pokok lelang Rp 44,34 triliun, atau 129 persen dari target. Dari transaksi Rp 44 triliun tersebut, menghasilkan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 974 miliar.

Joko menambahkan, meskipun mencatatkan kinerja lelang menggembirakan, namun dalam praktik penyelenggaraan lelang, khususnya lelang atas objek hak tanggungan, masih banyak dijumpai adanya permasalahan hukum di dalam pelaksanaan lelang, khususnya dalam penetapan nilai limit yang dilakukan oleh penjual.

Oleh karena itu, Himbara bekerja sama dengan DJKN menyelenggarakan seminar ini dengan menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan yang meliputi lembaga yudikatif, aparat penegak hukum (APH), akademisi, pengawas sektor perbankan, dan profesional di bidang penilaian properti.

“Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau perspektif sekaligus membangun kesadaran dan pemahaman terkait penetapan nilai limit di dalam pelaksanaan lelang dari berbagai pihak yang terlibat,” ungkap Joko.

Sementara itu, saat tampil sebagai keynote speech, Direktur Jenderal DJKN Rionald Silaban memaparkan, sejak tahun 1908 sistem penjualan barang melalui lelang telah dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Kelembagaan lelang telah dicantumkan dalam berbagai tingkatan hukum positif. “Ini menunjukkan eksistensinya dalam menjalankan fungsi dan peranannya. Lelang bukan hanya berperan dalam mekanisme jual beli, namun memiliki fungsi publik dalam mendukung upaya penegakan hukum dan juga eksekusi putusan atau penetapan pengadilan,” ujar Rionald.

Menurut Rionald, lelang juga berperan dalam penyelesaian dalam pembiayaan yang bermasalah dan mendukung fungsi intermediasi perbankan melalui pencairan agunan dengan penjualan lelang. Menurutnya, peraturan perundang-undangan di bidang lelang telah mengatur 45 jenis lelang dengan rincian 17 jenis lelang eksekusi, 20 jenis lelang noneksekusi, dan 8 jenis lelang sukarela.

“Dari berbagai jenis lelang tersebut, lelang eksekusi objek hak tanggungan sesuai pasal 6 UU Hak Tanggungan mendominasi pelaksanaan lelang dengan kisaran 70-80 persen dari total frekuensi lelang,” ungkap Rionald. Sebagai contoh, pada tahun 2023 total frekuensi lelang eksekusi hak tanggungan mencapai 45.538 atau 70 persen dari total keseluruhan frekuensi lelang.

Namun, Rionald juga menyadari, lelang eksekusi tidak lepas dari berbagai masalah yang terjadi dalam pelaksanaannya. Salah satunya soal nilai limit. Nilai limit merupakan nilai minimal atau baseline dari barang yang akan dijual melalui lelang.

Dijelaskan Rionald, setidaknya terdapat tiga perspektif dalam mengkategorikan permasalahan terkait dengan nilai limit. Pertama, dari perspektif hukum perdata, nilai limit dapat dipergunakan oleh pihak debitur sebagai dalih dalam mengajukan gugatan hukum terhadap suatu pelaksanaan lelang.

Kedua, pihak debitur juga dapat melaporkan penjual atau pejabat lelang kepada APH dengan dugaan tindak pidana merugikan pihaknya atas penetapan nilai limit yang menurutnya terlalu rendah.

Terakhir, penetapan nilai limit ini juga dapat dipandang sebagai elemen yang menyebabkan harga lelang yang terbentuk tidak optimal sehingga secara aspek pengelolaan keuangan negara dapat berujung pada potensi kerugian negara. Menurutnya, beberapa permasalahan yang terjadi dalam proses penetapan nilai limit tersebut akan berpengaruh pada pelaksanaan lelang.

“Saya berharap melalui kegiatan seminar ini kita dapat mendengarkan tanggapan-tanggapan dan juga pandangan-pandangan inovatif dan terjadi diskusi yang konstruktif hingga dapat menghasilkan rekomendasi konkret sebagai solusi terbaik terhadap permasalahan terkait nilai limit ini,” harap Rionald.

Dalam seminar ini, Tedy Syandriadi sebagai pemateri pertama memaparkan tentang pengertian lelang, dasar hukum lelang, fungsi lelang, dan peran lelang dalam perekonomian nasional.

“Dalam perekonomian nasional, lelang membantu pemulihan keuangan negara dengan penjualan barang rampasan dan sitaan. Selain itu juga membantu penyelesaian non performing loan (NPL) dengan pencairan agunan melalui penjualan lelang, serta membantu menggerakkan roda perekonomian dengan meningkatkan potensi nilai barang dan membuka lapangan kerja,” ungkap Tedy.

Meski begitu, diakui bahwa dalam penetapan nilai limit masih ada permasalahan. Sebut saja, potensi adanya laporan kepada aparat penegak hukum karena nilai limit dianggap terlalu rendah sehingga dapat merugikan debitur.

Selain itu, menurutnya, nilai limit yang ditetapkan berpotensi menjadi substansi gugatan debitur/tereksekusi dengan dalih merasa tidak dilibatkan oleh penjual. Sementara dari aspek keuangan negara, ada potensi tuntutan hukum terkait kerugian negara akibat nilai jual lelang tidak optimal. Namun Teddy mengingatkan, hal yang menjadi perhatian, nilai limit biasanya memang mencerminkan nilai barang, bukan nilai hutang.

Sementara itu, Hamid Yusuf yang menjadi pembicara kedua menyampaikan sejumlah tantangan yang dihadapi penilai dalam melakukan penilaian untuk tujuan lelang. Di samping itu, Hamid Yusuf juga secara khusus menyoroti perihal penetapan nilai limit.

Merujuk pada PMK 122 Tahun 2023, Hamid Yusuf menegaskan bahwa setiap pelaksanaan lelang harus ada penetapan nilai limit yang ditetapkan oleh penjual. Penetapan nilai limit tersebut didasarkan pada laporan hasil penilaian oleh penilai, atau laporan hasil penaksiran oleh penaksir, atau harga perkiraan sendiri. Yang dimaksud penilai di sini adalah bisa penilai publik atau penilai pemerintah.

Seperti pembicara sebelumnya, Hamid juga menyoroti tantangan yang dihadapi dalam menentukan nilai limit, baik yang didasarkan kepada opsi yang dihasilkan oleh penilai pemerintah (DJKN), penilai publik, maupun penaksir.

Dari sisi profesi penilai, menurut Hamid, dasar nilai yang digunakan untuk penilaian tujuan lelang adalah nilai pasar dan nilai likuidasi. Hasil penilaian yang didasarkan pada dua dasar nilai tersebut kemudian diopinikan dalam satu laporan yang memuat opini nilai pasar dan opini nilai likuidasi.

Kemudian, dalam pelaksanaan lelang, Hamid menjelaskan, biasanya penjual menetapkan nilai limit berdasarkan nilai pasar sebagai prioritas pertama (batas atas) dan nilai likuidasi sebagai alternatif terakhir atau batas bawah. Sementara, dalam PMK 122 Tahun 2023, disebutkan bahwa nilai limit ditetapkan dengan rentang paling tinggi sama dengan nilai pasar dan paling rendah sama dengan nilai likuidasi.

Di bagian lain, Hamid juga menjelaskan sebab seringnya terjadi perbedaan nilai terhadap objek lelang. “Untuk objek lelang yang sama, pada waktu sama atau berbeda, hasilnya apakah dapat berbeda? Apakah kredibel?” ungkap Hamid. Perbedaan hasil penilaian, menurut Hamid, dapat disebabkan oleh integritas dan kompetensi pelaku, pasar properti, dan permasalahan objek penilaian.

Hal-hal tersebut bisa terjadi, menurutnya, karena hingga saat ini semua transaksi properti di Indonesia tidak memiliki proses assessment terhadap kebenaran data transaksi yang dijadikan basis pengenaan pajak properti. Menurutnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang tidak memiliki penerapan mekanisme dan sistem database transaksi properti nasional.

“Ketidakpastian dan terbatasnya informasi dan data pasar properti ini telah menghambat penugasan penilaian untuk berbagai keperluan secara objektif, termasuk untuk tujuan lelang,” ujar Hamid.

Padahal, menurut Hamid, kepastian bagi pemilik properti atau pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan hasil lelang yang adil sangat bergantung pada kondisi properti. “Salah satu ketergantungan tersebut adalah tersedianya data pasar yang andal,” tegas Hamid.

Hakim Agung Kamar Pidana Surya Jaya menyoroti kekosongan hukum dalam PMK 122 Tahun 2023 tersebut karena dinilai tidak mengatur secara khusus mengatur mengenai pengertian nilai likuidasi. Selain itu, tidak ada pengaturan secara tegas tentang metode perhitungan nilai likuidasi, dan hanya disebut, seperti tertuang dalam pasal 59, bahwa penetapan nilai limit paling tinggi sama dengan nilai pasar dan paling rendah sama dengan nilai likuidasi.

Karena itu, Surya mengingatkan adanya potensi tuntutan atau gugatan hukum. Sebab, menurutnya, penetapan nilai limit berdasarkan harga likuidasi atau barang lelang dijual lebih murah berpotensi merugikan negara atau debitur, pemilik barang, dan pihak lain yang terkait. Selain itu, imbuhnya, juga berpotensi terjadi pelanggaran atau perbuatan melawan hukum baik secara administratif maupun secara substansial dalam proses atau pelaksanaan lelang.

“Dari perspektif normatif, hakim akan mempertimbangkan apakah penetapan nilai limit berdasarkan nilai likuidasi sebagai dasar pembentukan nilai jual atas jaminan kebendaan, melawan hukum, sah, atau tidak. Demikian halnya dalam proses atau pelaksanaan lelang, apakah terjadi pelanggaran atau perbuatan melawan hukum,” papar Surya.

“Hakim sebagai pengadil akan mempertimbangkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan, apakah memancarkan atau memberikan nilai keadilan atau kemanfaatan dan perlindungan hukum secara proporsional,” tambahnya.

Pembicara keempat, Wakhid Slamet Cipto menjelaskan membagi pelaksanaan lelang berdasarkan Auction Theory (Teori Lelang) yang ditulis oleh Paul R Milgrom dan Robert Wilson. Dipaparkan Wakhid, lelang masih bertahan hingga sekarang karena menghasilkan output dan outcome yang efektif dan efisien serta memberikan great benefit to society. Pelaksanaan lelang pun bisa dilakukan dengan cara konvensional maupun digital.

Selain itu, lelang dengan kondisi penjual memiliki posisi lemah dalam penawaran yang nantinya barang yang berhasil dilelang dapat dibeli kembali (reverse auction). Selanjutnya, penjual atau pelaku lelang akan melakukan lelang dengan prosedur operasional standar pada umumnya, di mana ada harga minimun, maksimum, dan optimum mengikuti skenario exchange game dengan penawar (bidder).

“Pelaksanaan lelang menggambarkan keunikan pasar lelang dalam menetapkan nilai limit yang optimal atau terbaik serta dampak positif dari bisnis lelang,” ujarnya.

Sebagai narasumber terakhir, Syaifudin Tagamal dalam paparannya meyakinkan para pejabat lelang yang akan melaksanakan penetapan nilai limit agar tidak perlu khawatir dipidanakan. Hal itu jika selama kondisi dan proses penentuan nilai limit dijalankan sesuai peraturan perundang-undangan dan prosesnya bebas dari intervensi pihak ketiga.

Yang paling penting, menurutnya, tidak ada mens rea ataupun unsur niat jahat yang kemudian dibuktikan dengan adanya unsur kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan jahat, seperti pemalsuan surat, keterangan palsu, penipuan atau perbuatan curang, dan tindak pidana korupsi.

“Kita hanya memitigasi beberapa perbuatan yang bisa ditarik menjadi ke ranah pidana. Tapi sepanjang itu tidak ada dan dilakukan secara prosedural, maka penetapan nilai limit jangan sampai menjadi sesuatu ketakutan,” katanya.

“Kalau soal digugat, mau ditentukan nilai limit tertinggi, nilai pasar, atau nilai wajar pun tetap ada gugatan. Asal beritikad baik dan untuk kemanfaatan semua, saya rasa tidak perlu ada suatu kekhawatiran,” imbuhnya.

Leave a Reply