Lelang Agunan Harus Fair dan Terbuka

Pelaksanaan lelang agunan dengan penetapan nilai limit harus tetap menempatkan konsumen perbankan dalam posisi yang baik. Dalam pelaksanaannya, harus dilengkapi dengan prosedur yang fair dan terbuka.

Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Nasional bertajuk “Penetapan Nilai Limit Dalam Pelaksanaan Lelang” diselenggarakan atas kerja sama Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dengan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Ini merupakan hari kedua seminar yang dilaksanakan di Yogyakarta,

Pada hari kedua ini, tampil tiga narasumber, masing-masing Kepala Sub-Direktorat Kebijakan Lelang Direktorat Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Diki Zenal Abidin, ahli hukum perbankan Universitas Padjajaran Lastuti Abubakar, dan Senior Bank Supervisor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mardianti Marlian.

Dalam paparannya, Diki Zenal menjelaskan tentang lelang sebagai instrumen jual beli. Menurut Diki, lelang merupakan penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.

Disebutkan, setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau di hadapan pejabat lelang kecuali ditentukan lain oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Menurutnya, berdasarkan kebijakan yang baru, jenis lelang terdiri dari lelang wajib dan lelang sukarela. Untuk lelang wajib terbagi dua, yaitu lelang eksekusi dan lelang noneksekusi.

Dalam hal lelang agunan pembiayaan bermasalah, Diki menguraikan karakteristiknya, yaitu yang dijual adalah barang dan bukan utang, bersifat paksaan (eksekusi), waktu transaksi yang terbatas, dan harga jual tidak ideal.

Perihal kebijakan lelang agunan pembiayaan bermasalah, menurut Diki, penjualan dilakukan oleh bank sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh undang-undang, bukan oleh debitur atau pemilik agunan. “Untuk nilai limitnya, serendah-rendahnya sebesar nilai likuidasi, jika lebih tinggi maka lebih baik,” ujarnya.

Menurutnya, tujuan penjualan atau lelang untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah, sekaligus recovery agunan untuk menggerakan kembali perekonomian nasional. “Yang perlu diingat adalah pengadaan lelang terbuka untuk umum, sehingga akuntabilitas dan transparansi harus jelas,” katanya.

Sementara itu, Lastuti Abubakar menyoroti peran dan fungsi bank dalam lelang objek tanggungan sebagai mitigasi risiko terhadap potensi permasalahan hukum. Lastuti mengingatkan bahwa fungsi bank adalah sebagai agent of development, agent of trust, dan agent of services. “Bank juga harus mengacu pada prudential banking principles dalam aktivitas perbankan,” katanya.

Menurut Lastuti, pemaknaan prudential banking principles merupakan ketaatan bank pada seluruh regulasi atau peraturan yang berlaku dan terkait dengan aktivitas perbankan, termasuk pedoman yang dibuat untuk internal perbankan.
Dalam pemberian kredit atau pembiayaan, menurutnya, bank wajib memiliki keyakinan debitur beritikad baik dan mampu membayar. Bank juga wajib menyusun pedoman perkreditan atau pembiayaan dengan tetap memperhatikan penerapan manajemen risiko.

Dijelaskan Lastuti, biasanya saat terjadi eksekusi, benturan antara kreditur dan debitur sangat terlihat jelas. Oleh karena itu, menurutnya, lelang adalah cara paling transparan yang bisa dilakukan. “Saya setuju dengan penetapan nilai limit dalam lelang. Namun harus dibuat prosedurnya dengan baik dan dipublikasikan juga. Konsumen juga harus ditempatkan secara baik,” ujar Lastuti. “Lelang merupakan perbuatan hukum yang diatur oleh hukum. Dan dalam lelang berlaku prinsip-prinsip hukum dan juga reasonableness dan fairness,” tuturnya.

Sementara itu, Mardianti Marlian membuka paparannya dengan menyampaikan laporan perbankan Indonesia tetap tangguh dengan fungsi intermediasi yang terjaga dan permodalan yang kuat. Sehingga, posisinya dapat menjadi buffer untuk mengantisipasi potensi risiko di masa depan. “Meski begitu masih ada potensi kredit bermasalah,” katanya.

Mardianti juga menjelaskan berbagai kebijakan yang dilakukan OJK dalam hal kredit perbankan dan permodalan, termasuk juga dalam hal penilaian kualitas aset, penyusunan kebijakan perkreditan bank umum, penerapan tata kelola bagi bank umum, serta aspek pelindungan konsumen.

Perihal agunan yang muncul dalam proses kredit, Mardianti menjelaskan bahwa penilaian agunan merupakan kegiatan pelaksanaan pemeriksaan fisik, pemeriksaan yuridis, dan penetapan penaksiran nilai terhadap suatu objek penilaian yang akan atau telah dijaminkan kepada bank dan pada waktu yang telah ditetapkan.

Kriteria objek penilaian, antara lain dapat dan mudah dijual di pasar bebas (marketability), harga barang relatif stabil (stability of value), barang dapat dengan mudah dipindahtangankan (transferability), dan aspek legal kepemilikan barang yang sah dan kuat (legality). “Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai internal maupun independen tergantung kebijakan bank dan risk appetite,” ungkap Mardianti.

Mardianti juga menyampaikan selama tahun 2022-2023 terdapat 18.279 pengaduan mengenai sektor perbankan. “Dan permasalahan agunan atau jaminan tercatat sebanyak 1.376 pengaduan yang masuk ke OJK. Masalah yang muncul yaitu harga lelang lebih rendah dari harga pasar,” jelasnya.

Leave a Reply