Penting, Peran Penilai dalam Perdagangan Karbon
Profesi penilai memiliki peran penting dalam perdagangan karbon untuk program pengurangan emisi. Karena itu, profesi penilai harus memahami perkembangan teknologi dan regulasi yang relevan dengan masalah tersebut.
Hal tersebut mengemuka dalam pendidikan profesional berkelanjutan (PPL) yang diselenggarakan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) yang bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/1). PPL bertajuk “Pengenalan dan Pemahaman Emisi Gas Rumah Kaca, Jejak Karbon, dan Perdagangan Karbon” ini dibuka Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) Kementerian Keuangan Erawati.
Dalam sambutannya, Ketua Kompartemen Penilai OJK/Forum Penilai Pasar Modal (FPPM) MAPPI Dewi Aprianti menjelaskan, PPL ini merupakan tindak lanjut dari PPL dengan topik Penilaian Enviromental, Social, Governance (ESG) yang diselenggarakan November tahun lalu.
“Sebagai tindak lanjut dari pembelajaran ESG, maka dilanjutkan dengan pemahaman terkait apa itu sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca, bagaimana menentukan tingkat batas emisi, perdagangan karbon, dan juga jejak karbon (carbon footprint), serta mekanisme perdagangannya. Semua itu untuk mendukung program pemerintah Indonesia dan komitmen bersama internasional yang ditandatangani dalam Perjanjian Paris 2015 yang merupakan kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim,” ucap Dewi Aprianti.
Sementara itu, saat memberikan sambutan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) MAPPI Muhammad A Muttaqin menegaskan bahwa tantangan penilai ke depan akan semakin banyak. Salah satunya adalah tentang lingkungan yang sudah menjadi isu besar secara global. Karena itu, penilai publik punya kewajiban untuk mendukung keberlanjutan lingkungan kepada generasi yang akan datang dan harus disiapkan dari sekarang.
“Tren sekarang banyak yang baru. Belum lama kita bicara soal perkembangan teknologi artificial intelligent, kemudian ada hak kekayaan intelektual, sekarang ada ESG, ada bursa karbon, sesuatu yang sangat baru dan kita harus terus belajar tidak boleh berhenti. Tantangan kita lebih jauh lagi. Kita satukan langkah, bagaimana membangun MAPPI ini sebagai wadah yang selalu mengembangkan integritas, profesionalisme, menjaga kepercayaan masyarakat dan stakeholder,” ujar Muttaqin.
Saat membuka PPL, Erawati menjelaskan bahwa meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berakibat pemanasan global, cuaca ekstrem, serta naiknya permukaan laut sudah menjadi ancaman dunia. Untuk menghadapi hal itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi dampaknya. Karena itu, menurutnya, pemerintah telah mengadopsi Perjanjian Paris 2015 melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan pada 2021 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 98/2021 sebagai dasar pengaturan mekanisme perdagangan karbon.
“Penilai juga memiliki peran yang potensial dalam penilaian fasilitas carbon capture storage sehingga perlu mempertimbangkan dan memahami teknologi dan pengaturan yang relevan, serta potensi aliran pendapatan dari karbon yang ditangkap,” tambahnya.
Dalam keynote speech-nya, Direktur Pengawasan Profesi Penunjang Pasar Modal dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ucu Rufaidah menjelaskan, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14/2023 tentang perdagangan karbon. Saat ini, izin usaha perdagangan karbon telah diberikan kepada Bursa Efek Indonesia (IDX Carbon). Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi gas emisi rumah kaca melalui kegiatan jual beli karbon .
“Pada saat ini, BEI dengan OJK juga masih menggodok bagaimana nanti implementasi aplikasinya untuk masuk ke laporan keuangan. Unit karbon yang disekuritas, diakuisisi, jadi efek tapi saat ini karena belum ada aturannya, yang mendekati itu menjadi aset tak berwujud untuk saat ini. Memang perdagangan karbon sekarang belum banyak. Nanti untuk para penilai, hal itu tentu jadi sangat penting bagaimana pola di dalam menyajikan laporan keuangan terhadap unit karbon pada saat melakukan penilaian,” tutur Ucu.
Tak lupa, Ucu dalam keynote speech-nya juga menyampaikan apresiasi ke para penilai “tentu kami juga mengapresiasi teman-teman penilai yang sudah secara tepat waktu melapor ke kami di OJK, kalau tidak salah mencapai 99.7% penilai yang sudah lapor tepat waktu”.
Dalam PPL kali ini, hadir tiga nara sumber, masing-masing Penilai Pasar Modal Budi P Martokoesoemo, Head of Busines Development 2 Division dari Indonesia Stock Exchange Denny Wicaksono, dan CEO PT BATS International Grup Brian Pramudita.
Dalam paparannya, Budi Martokoesoemo menjelaskan materi tentang Pengenalan dan Pemahaman Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE GRK) dan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) untuk Penilaian. Ia menyatakan, potensi Indonesia dalam bidang ini sangat besar dan tidak terlalu jauh beda dengan saham.
“Saat ini di Indonesia, baru ada empat perusahaan yang menyediakan jasa valuator karbon, dan tenaga ahlinya masih baru sedikit. Ini seperti kondisi industri penilaian di tahun 1980-an, yang baru 30an orang penilai. Harusnya Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan penilai bisa bekerja sama dengan perusahaan valuator karbon,” kata Budi.
Menurutnya, hampir semua institusi perbankan di Indonesia mengarah ke carbon neutral, karena ini tuntuan dari para investor. Jadi, kalau ada satu bank ingin menggunakan jasa penilai dan dihadapkan dengan dua KJPP dengan fee yang sama, maka bank akan memilih KJPP yang sudah carbon neutral, karena kalau memilih yang belum carbon neutral, maka bank yang akan menanggung emisi karbon dari KJPP yang belum tersebut. “Jadi, pada akhirnya akan banyak KJPP yang akan carbon neutral, karena memenuhi tuntutan dari user, utamanya bank-bank tadi,” Budi menambahkan.
Di bagian lain Budi menjelaskan, yang membedakan perdagangan karbon di luar negeri dengan di Indonesia, jika di luar negeri carbon credit diperdagangkan sebagai komoditi, sedangkan di Indonessia diperdagangkan sebagai efek. Karena itu, perdagangan karbon di Indonesia ada di Bursa Efek Indonesia.
Menurut Budi, ketika ada perusahaan yang memiliki SPE GRK atau memiliki proyek terkait pengendalian emisi GRK ingin memasukkan ke dalam laporan keuangan, maka di situlah ada peluang bisnis untuk penilai. “Karena saat ini perusahaan penyedia jasa valuator karbon dan verificator karbon tidak dapat mengeluarkan opini untuk laporan keuangan, dan hanya penilai yang secara aturan diterima opininya oleh pajak,” ujar Budi.
“Saat ini di Indonesia, baru ada empat perusahaan yang menyediakan jasa valuator karbon dan verificator karbon, dan tenaga ahlinya juga masih baru sedikit. Ini seperti kondisi industri penilaian di tahun 1980-an, yang baru 30an orang penilai. Harusnya KJPP dan penilai bisa bekerja sama dengan perusahaan valuator karbon,” Budi menyemangati.
Sementara itu, saat menjawab pertanyaan Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indinesia (KPSPI) Hamid Yusuf tentang proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Budi menjelaskan bahwa dalam jangka pendek, mungkin memang tidak sejalan dengan carbon neutral karena membabat ratusan hektar hutan.
“Tapi in the long term, final goal-nya, IKN itu akan rendah emisi dan mendukung carbon neutral, misalnya dengan penggunaan electric vehicle dan pembangkit listrik yang rendah emisi, misalnya dengan tenaga surya,” jelas Budi.
Selanjutnya Ignatius Denny Wicaksono memberikan penjelasan tentang pasar karbon. Menurutnya, ada empat mekanisme dalam perdagangan karbon, yaitu melalui lelang, market place, negotiated trading, dan regular trading. Yang terakhir ini seperti perdagangan saham pada umumnya, hanya saat ini belum melalui broker.
“Sementara, jenis pasar karbon ada dua, yaitu pasar karbon sukarela dan pasar karbon wajib. Karbon itu ada harganya, kalau tidak green dapat disincentive, jika green maka dapat incentive. Angka ekonomi karbon memang bervariasi tiap negara, tergantung dari tantangannya, harga rata-rata nanti di tahun 2030 diperkirakan ada di kisaran 61 dollar sampai 123 dollar per tCO2, sementara harga karbon di Bursa Karbon Indonesia saat ini masih di kisaran 4 dollar,” kata Denny.
Brian Pramudita sebagai pembicara terakhir menjelaskan persoalan proses perhitungan carbon footprint. Menurutnya, Protokol Green House Gas (GHG) menjadi metode yang paling mudah dalam pengukuran karbon yang memiliki keterkaitan dengan profesi penilai, dibandingkan tiga metode lainnya, yakni ISO 14064, SASB (Sustainable Accounting Standards Board), dan Clean Development Mechannism (CDM) Programme.
Seolah mengamini pernyataan Budi sebelumnya, Brian juga menambahkan bahwa peluangnya masih sangat besar bagi para penilai, terutama terkait dalam penilaian properti dengan adanya konsep green building atau sustainable building. “Kaitannya dengan penilai, jika untuk properti misalnya rumah pinggir pantai, ada soal kenaikan permukaan air laut, suhu, badai, perubahan ekosistem, pengasaman air laut, intrusi air asin ke dalam air tawar dan erosi, berapa nilainya bila area properti berpotensi terkena dampak,” tutur Brian.
Karena itu, menurutnya, penilaian properti nantinya harus memperhatikan aspek-aspek lingkungan terhadap bangunan yang menjadi objek penilaian, karena faktor-faktor lingkungan dan dampak emisi terhadap appraisal properti, seperti properti di pinggir pantai yang rawan karena peningkatan air laut, atau yang di perbukitan karena rawan terbakar, atau resort di Swiss yang juga terdampak perubahan iklim karena salju di situ sudah mulai menipis dan musim saljunya juga semakin singkat, sehingga berdampak ke bisnis di resort tersebut.
Terkait pencatatan emisi GRK berdasarkan prinsip akunting, Brian menekankan pentingnya penilai memahami lima prinsip dalam protokol GHG, yakni RATCC atau Relevancy Accuracy Transparancy Completeness dan Consistency. Dan Brian menggarisbawahi pentingnya menentukan Organisational Boundaries atau batasan organisasi dalam pelaporan GRK nantinya, yang mana juga harus dilaporkan secara konsisten. Penilai harus dapat membedakan dan memahami dampak dari batasan Equity Share dan batasan Control di dalam penilaian GRK di satu perusahaan.
Batasan berdasarkan equity shares hanya menentukan emisi GRK nya dicatat berdasarkan kepemilikan saham di perusahaan tersebut, sedangkan kalau berdasarkan kontrol, harus dibedakan antara Financial Control dan Operational Control. “Penentuan boundaries tadi menentukan besaran emisi GRK yang harus dicatatkan setiap tahunnya oleh perusahaan tersebut, yang penting harus konsisten,” ujar Brian.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi