Penilai Dua Generasi (6): Berkat Ibu, Ocky Rinaldy Jadi Penilai
Gara-gara kesulitan mencari kerja, Ocky Rinaldy akhirnya membantu ibunya dan kemudian menjadi seorang penilai. Dan sekarang lebih memilih menekuni profesi penilai.
Begitu merampungkan pendidikan S1 Ekonomi Manajemen di Universitas Brawijaya Malang di tahun 1994, ia langsung mengirimkan banyak surat lamaran ke berbagai perusahaan. Namun semuanya tidak mendapatkan hasil dengan segera. Padahal, saat itu Ocky ingin sekali bekerja di bank.
Sambil menunggu hasil dari proses lamaran pekerjaannya, ia membantu sang ibu, Sindarini, yang kala itu memiliki perusahaan di bidang penilaian bernama PT Zodiac Perintis Penilai. Sejak saat itulah ia mulai paham dengan pekerjaan dari seorang penilai, lalu memutuskan terjun sepenuhnya karena keadaan.
“Pada tahun 1998 mulai ada ujian sertifikasi penilai pertama. Saya ikut sekali dan lulus, jadi kejeblos sekalian. Setelah itu, tahun 1999 dapat izin penilai, dan tidak mikir lagi kerja lain,” kenang Ocky.
Lantaran keadaan dan seakan mengikuti arus perjalanan karier, pria yang kini tergabung di Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Suwendho Rinaldy dan Rekan ini tidak memiliki beban karena menjadi seorang penilai lewat peran sang ibu. Baginya, fokus dalam menjalani pekerjaan sebagai penilai jauh lebih baik ketimbang memikirkan beban atau bahkan keuntungan karena punya orangtua yang berkarier di bidang penilaian.
“Sejak saya lulus ujian dan dapat izin, kami secara tidak langsung sudah bagi tugas. Ibu dulu orang marketing dan tidak mau ikut ujian penilai, sehingga kalau untuk uruaan teknis itu saya, selain itu ya ibu. Kita sama-sana paham, walau keluarga tetap dijalankan seprofesional mungkin,” tutur Ocky.
Ocky menyadari adanya perubahan yang sangat besar saat dia masih membantu ibunya di PT Zodiac Perintis Penilai dan kini di KJPP Suwendho Rinaldy dan Rekan. Menurutnya, dulu peraturan penilai tidak serumit sekarang dan bahkan cenderung longgar. Namun, diakuinya perubahan tersebut tentunya memiliki manfaat yang lebih baik.
“Zaman itu (tahun 1994) aturannya lebih longgar, makin ke sini makin susah. Tapi tentunya akan lebih profesional karena rambu-rambunya jadi semakin jelas,” katanya.
Karena kerumitan itu, pria kelahiran Surabaya ini sampai tidak tertarik untuk mencoba memiliki usaha lain ataupun profesi sampingan. Sebab, hal itu bisa memecah perhatian atau pemikirannya dan berisiko menjadi tidak maksimal dalam menjalankan pekerjaannya sebagai seorang penilai.
Bagi Ocky, setiap penilai punya pemikiran yang berbeda-beda tentang usaha sampingan. Tapi Ocky memilih untuk fokus di profesi penilai dan tidak ingin memiliki usaha lain atau pekerjaan di bidang lain.
Meski begitu, ia juga belum bisa memastikan apakah nantinya bisnis KJPP bisa diturunkan sampai ke anaknya. “Kalau saya nerimo aja orangnya karena tidak diterima tempat lain, ya dijalani saja. Anak sekarang mungkin lebih banyak pilihan,” ujarnya.
Ia menyadari profesi penilai belum begitu populer di kalangan generasi muda. Karena itu, baginya tak masalah jika nanti anaknya tidak tertarik menggeluti dunia penilaian. “Anak tidak tertarik apa yang kita lakukan, dia lebih ke seni karena kuliahnya lebih ke desain grafis,” kata Ocky.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi