Diskusi MAPPI dan OJK Perbankan : Equal Kompetensi antara Penilai Properti Sederhana dan Penilai Internal

Hari ini MAPPI mendapat kehormatan berdiskusi langsung dengan Bp. Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan dan Anggota Komisioner Otoritas Jasa Keuangan beserta jajarannya. Sebagai pembuka, Dian menekankan tentang pentingnya optimalisasi fungsi profesi penunjang, tidak hanya masalah pelaporan namun juga perbaikan sistem secara keseluruhan. Sebagai appraiser penting untuk menjaga kompetensi dan profesionalisme karena apabila tidak profesional tentu akan fatal akibatnya kepada perbankan dan pasar modal.

Ketua 2 Dewan Pengurus Nasional, Dedy Muhammad, mengawali perkenalan dengan menjelaskan tentang keberadaan MAPPI yang telah berumur hampir 43 tahun dengan anggota kurang lebih 10 ribu orang. Dedy juga menjelaskan tentang kualifikasi izin penilai dan bahwa sejak tahun 2009 penilai adalah mitra kerja dari Otoritas Jasa Keuangan (d/h Bapepam-LK) yakni di sektor Pasar Modal, dan juga di sektor IKNB sejak 2014. Secara spesifik Dedy kemudian membahas keberadaan 251 orang Penilai Properti Sederhana (PS) yang tersebar di kurang lebih 430 Kantor Cabang KJPP dan terutama beroperasi di luar Jabodetabek. Bahwa 80% pekerjaan penilaian adalah berhubungan dengan perbankan dan Penilai PS awalnya dihadirkan untuk memenuhi permintaan dari pihak perbankan, namun seiring dengan perkembangan jaman tampaknya eksistensi mereka mulai terancam terutama oleh penilai internal perbankan. Penilai PS ini memiliki ruang lingkup kegiatan dan objek yang sama dengan penilai internal, namun sebagai penilai publik, Penilai PS tunduk pada standar penilaian dan kode etik, serta hal lain yang diatur oleh Kementerian Keuangan. Penilai PS juga harus melalui jenjang pendidikan tertentu serta lulus ujian sertifikasi baru diperkenankan menerbitkan laporan penilaian. Sementara penilai internal yang bahkan baru lulus Pendidikan Dasar sudah bisa menerbitkan laporan penilaian. Secara kualifikasi dan kompetensi tentunya berbeda antara Penilai PS dan penilai internal. Ini tentunya akan berpengaruh terhadap kualitas penilaian yang dihasilkan.

Ketua Ikatan Kantor Jasa Penilai Publik (IKJPP), Yufrizal Yusuf, menjelaskan tentang fungsi IKJPP sebagai wadah dari KJPP, dimana sesuai aturan, para penilai publik dalam memberikan jasanya harus melalui KJPP. Yufrizal menerangkan bahwa pemberian kredit perumahan tidak lepas dari peran serta penilai PS, yang mana 99% penilai PS berdomisili di daerah. POJK No 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum yang menetapkan batas Rp 5 miliar cukup menyulitkan teman-teman PS mencari pekerjaan karena sangat sedikit aset senilai tersebut di daerah. Dikhawatirkan jadi tidak menarik lagi untuk Penilai PS membuka kantor di daerah sehingga kebutuhan penilai di daerah tidak dapat terpenuhi karena lebih memilih mencari lahan di kota besar. Yufrizal juga menjelaskan adanya sistem rekanan yang diterapkan oleh pihak perbankan kepada KJPP serta menekankan perlunya “equal” kompetensi. Ada pihak perbankan yang menyelenggarakan pendidikan tanpa bekerja sama dengan MAPPI dengan modul yang bukan merupakan bahan ajar MAPPI, ini berpotensi melahirkan kredit macet/bermasalah.

Ketua Kompartemen Penilai OJK, Dewi Apriyanti, lebih menitikberatkan pada wacana penerapan UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), dimana terdapat kemungkinan akan menyulitkan Penilai PS untuk dapat memenuhi kriteria menjaga kompetensi tersebut akibat terganggunya pendapatan. Dewi juga membahas tentang pungutan iuran tahunan yang selama ini diterapkan pada penilai yang terdaftar di OJK Pasar Modal

Alda Adriez sebagai pembicara terakhir dari MAPPI menceritakan bahwa untuk menunjang proyek PSN dan kebutuhan pengadaan lahan di daerah, Kementerian ATR/BPN telah membuka kran dan memberi lisensi Penilai Pertanahan kepada Penilai PS. Diharapkan pihak OJK juga berkenan memberi perhatian khusus yang sama.

Indah Iramadhini, Direktur Peraturan Perbankan OJK menjelaskan bahwa memang belum ada aturan terkait minimal kualifikasi dan kompetensi untuk penilai internal perbankan, yang disyaratkan baru untuk level direktur/komisaris. Saat itu semata-mata yang dipikirkan hanya masalah efisiensi operasional saja, karena untuk di daerah/remote area, aset dari kantor cabang bank ataupun BPR masih kecil sekali, sehingga tidak diwajibkan untuk menggunakan penilai independen. Namun dengan adanya penerapan UU P2SK, OJK akan mengatur segala hal tentang profesi penunjang, termasuk bagaimana pendaftaran, pelatihan tahunan, iuran dan lain-lainnya. Peraturan tersebut sedang digodok internal dan nantinya akan terintegrasi 3 sektor yakni pasar modal, IKNB dan perbankan (OJK-wide), diharapkan dapat diselesaikan tahun depan.

Setelah mendengar dari 2 sisi, Dian setuju bahwa banyak hal teknis yang masih harus dibahas bersama MAPPI, agar diperoleh win-win solution. Dian meminta MAPPI bersurat resmi kepada OJK Perbankan tentang semua keluhan dan fakta yang disampaikan dalam diskusi tersebut agar kajian pihak OJK dapat komprehensif. Diskusi ditutup dengan permintaan Dedy supaya MAPPI diikutsertakan secara aktif dalam pembahasan peraturan OJK terkait penilai dan penilaian. –(AA)

Leave a Reply