Uji Norma Musyawarah dalam Perundang-undangan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Penulis : Dr. Ir. Achmad Tri Kurniawan Bahtiar, SH., MH., MM., MAPPI (Cert.) (Calon Dewan Penilai Nomor Urut 06)
Dasar Musyawarah dalam penetapan ganti kerugian dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam ketentuan ini tercermin adanya musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan suatu persoalan antara pemegang hak dengan instansi pemerintah yang membutuhkan tanah. Dalam pasal 37 angka (1) menyatakan bahwa Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama tiga puluh hari sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan / atau besarnya ganti kerugian dan selanjutnya dalam Pasal 37 angka (2) menyatakan hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar ganti kerugian kepada pihak yang berhak.
Adanya musyawarah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini merupakan wujud penghargaan dan keterlibatan pemilik tanah dalam pelepasan tanahnya, apalagi pemilik tanah dalam kondisi terpaksa melepaskan tanahnya karena digunakan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, pemberian ganti rugi harus memenuhi azas keadilan dan kelayakan bagi pemilik tanah, di mana pertimbangan utamanya adalah besaran nilai ganti rugi dibandingkan bentuk ganti rugi, mengingat pokok permasalahan bagi pemilik tanah adalah besaran ganti rugi bukan bentuk ganti rugi.
Kondisi ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 39 Tahun 2023 Jo. PP 19 tahun 2021 maupun Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/BPN) nomor 19 tahun 2021 pada pasal 114 ayat 1 yang menyatakan kegiatan musyawarah hanya membahas bentuk ganti kerugian, sehingga besaran ganti rugi tidak dimusyawarahkan lagi namun hanya disampaikan oleh penilai saat musyawarah karena besaran nilai ganti rugi bersifat final dan mengikat.
Hasil penilaian ganti rugi yang bersifat final dan mengikat, terkesan menempatkan kedudukan penilai pertanahan sangat penting yang disetarakan dengan Keputusan Hakim yang bersifat final dan mengikat atau bersifat mutlak (res yudicata pro veritate habetur), yakni putusan yang dianggap mutlak benar, setelah melalui proses pemeriksaan yang sangat panjang selama persidangan. Hal ini berbeda dengan kondisi penilai pertanahan yang diberikan waktu terbatas dalam proses penilaian (30 hari) dan berbasis pada data nominatif yang diterima dari Kantor Pertanahan/Pemberi tugas. Dimana dalam praktik penilaian ganti rugi banyak ditemui tidak akuratnya data nominatif sehingga berimplikasi terhadap tidak akuratnya hasil besaran nilai ganti rugi, yang selanjutnya berpotensi timbulnya masalah hukum.
Dalam kegiatan musyawarah, yang tidak memberikan ruang bagi penilai pertanahan untuk mengkaji ulang dan menyempurnakan besaran nilai ganti rugi atas adanya data dan informasi baru yang disampaikan pemilik tanah, yang sebelumnya belum terakomodasi dalam data nominatif, maka kondisi tersebut tidak menguntungkan penilai pertanahan dikarenakan data dan informasi baru tersebut seharusnya dapat berkontribusi terhadap pembentukan besaran nilai ganti rugi, Selain itu, apabila tidak terjadi kesepakatan baik besaran ganti kerugian maupun bentuk ganti kerugian dalam kegiatan musyawarah, pemilik tanah dapat melakukan gugatan, sebagaimana dinyatakan dalam PP 19/2021 pasal 75 angka 1 yang menyatakan apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, maka pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat.
Konflik norma “musyawarah” antara UU 2/2012, Pasal 37 (1) dengan PP 19/2021, Pasal 71 (2) maupun Permen ATR/BPN 19/2021, Pasal 114 (1), tersebut, bertentangan dengan asas hukum lex superior deregate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang memiliki derajat lebih rendah dalam hirarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Maka, dapat disimpulkan bahwa peran penilai pertanahan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum memiliki posisi strategis dalam menentukan keberhasilan pelepasan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, namun sekaligus berpotensi risiko hukum, baik dalam risiko hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana.
Untuk itu, diperlukan adanya pengujian norma (judicial review) “musyawarah” dalam peraturan perundang-undangan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut, agar terwujud keharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya, serta dapat memberikan perlindungan hukum, khususnya terhadap penilai pertanahan.
Dewan Penilai yang diamanatkan dalam AD/ART MAPPI, diantaranya untuk memberikan perlindungan kepada profesi penilai, memiliki legal standing yang amat kuat dalam mengkritisi berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan profesi penilai dan mengajukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang berpotensi merugikan posisi profesi penilai, sebagai bentuk perwujudan perlindungan hukum yang bersifat preventif.
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi