Menjaga Asa Eksistensi Profesi Penilai di Indonesia

Penulis : Iwan Bachron G., SE., M.Ec.Dev, MAPPI (Cert.) (Calon Dewan Penilai Nomor Urut 02)

Pada awalnya, penilaian mulai dikenal sebagai suatu disiplin ilmu sekitar tahun 1970, Kemudian, semakin berkembang dengan didirikannya organisasi-organisasi salah satunya MAPPI (1981) dan YAPPI. Awalnya, layanan penilaian digunakan untuk menilai aset terutama seperti jaminan pinjaman dari bank atau Lembaga keuangan. Namun saat ini berkembang lebih luas, antara lain untuk laporan keuangan, perpajakan, transaksi jual beli, lelang, pengadaan lahan, kompensasi Right of Way (RoW) dan lainnya.

Jumlah Penilai Publik mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2019-2023 pertumbuhan penilai publik berizin tumbuh sebesar 5% setiap tahun dengan pertumbuhan Penilai Properti Sederhana sebesar 7% dari 2022-2023, sedangkan jumlah penilai publik sampai bulan Juni 2024 tercatat sebanyak 766. Pertumbuhan jumlah penilai publik ini mengakibatkan peningkatan kompetisi antar penilai publik maupun Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Kompetisi yang tinggi memicu persaingan usaha yang tidak sehat. Penawaran pekerjaan oleh penilai publik seringkali berada di bawah Standar Imbalan Jasa (SIJ) yang sudah ditentukan oleh asosiasi. Akan tetapi, masih ada beberapa KJPP yang masih mempertahankan SIJ atas pekerjaan yang ditawarkan, namun harus merelakan turunnya jumlah pendapatan per tahun. Oleh karena itu, diperlukan peranan penting asosiasi dalam hal ini Ikatan Kantor Jasa Penilai Publik (IKJPP) untuk dapat mengawasi anggota asosiasi (KJPP) dalam pemberian imbalan jasa pekerjaan.

Kemudian, muncul regulasi berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NO. 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum di mana pada pasal 47 ayat 1b menyebutkan penilai internal bank dapat mengerjakan penilaian aset produktif dengan batas sebesar Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah). Hal ini menyebabkan menurunnya volume pekerjaan dari sektor perbankan yang dapat dikerjakan oleh penilai publik. Jika dilihat dari kompetensi dan kewenangannya, penilai independen melakukan penilaian berdasarkan kode etik profesi (KEPI dan SPI) serta ketentuan yang ditetapkan instansi yang berwenang. Sementara itu, berdasarkan POJK No. 40/POJK.03/2019, penilai internal bank melaksanakan penilaian dengan memberikan taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum ditetapkan oleh asosiasi dan institusi  yang berwenang. Sehingga, mengenai apakah penilai internal bank sudah mengikuti KEPI dan SPI yang berlaku,  dapat menjadi bahan negosiasi asosiasi dengan regulator, yaitu Perbanas dan OJK terkait kewenangan penilai internal bank dapat melakukan penilaian aset produktif sampai dengan Rp.10.000.000.000.

Hal-hal yang sudah disebutkan di atas mempengaruhi pendapatan KJPP yang dirasakan semakin turun dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, penilai publik dihadapkan dengan kasus hukum yang meningkat. Berdasarkan data Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK), jumlah pengaduan masyarakat kepada PPPK dan Dewan Penilai (DP MAPPI) dari 2017 – Agustus 2023 berjumlah 513 kasus. Sedangkan, berdasarkan catatan Dewan Penilai MAPPI, jumlah kasus yang ditangani selama Oktober 2020 – Juni 2024 sebanyak 335 kasus. Maka, diperlukan segera Undang-Undang (UU) Penilai yang diharapkan menjadi payung hukum terbentuknya data transaksi properti dan bisnis yang valid.

Maka, diharapkan asosiasi berani untuk melakukan negosiasi dengan regulator, yaitu Perbanas dan OJK terkait Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum utamanya pada pasal 47 ayat 1b agar mendapat solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Kemudian, diperlukan adanya revisi SIJ minimal oleh IKJPP serta peran asosiasi dalam mendorong IKJPP melakukan penindakan bagi KJPP yang melanggar SIJ. Asosiasi juga tetap harus ikut berusaha bersama stake holder lainnya untuk mendorong lahirnya UU Penilai. Saat ini peran penilai sudah sangat strategis dan dibutuhkan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, namun perlu adanya kemauan dan usaha bersama dari asosiasi dan anggota untuk tetap menjaga eksistensi peran profesi penilai di Indonesia.

Leave a Reply