Isu isu Penting Penilaian Perkebunan Kelapa Sawit dengan Pendekatan Pendapatan

Penulis : Mardiani ST, MMPP.

Perkebunan kelapa sawit berdasarkan Standar Penilaian Indonesia (SPI) 301 termasuk properti yang menghasilkan (income producing property) dimana dasar asetnya membutuhkan areal lahan yang relatif luas, dipengaruhi oleh kualitas lahan tertentu dengan unsur budidaya tertentu pula. Tanaman Kelapa Sawit merupakan unsur utama perkebunan tersebut. Pendapatan bersumber dari penjualan Tandan Buah Segar (TBS) yang telah dikurangi biaya-biaya. Pendapatan berasal dari penjualan TBS dan biaya-biaya yang di keluarkan mulai dari biaya pemeliharaan tanaman, pemeliharaan non tanaman, panen berikut transport, overhead, Pajak Bumi Bangunan, sinking fund, fee manajemen, yang kemudian didapat Net Operating Income yang di-present value-kan.

Terlihat sangat mudah sederhana dalam mengeluarkan nilainya, namun realisasinya ternyata sangat berbeda. Perbedaan nilai bisa signifikan meski dengan aset dan data yang sama. Berdasarkan berbagai jurnal penelitian penilaian properti, perbedaan nilai yang wajar terjadi dalam rentang maksimum di angka 30%. Terdapat beberapa faktor yang membuat perbedaan nilai yang signifikan ini.

Faktor pertama adalah penentuan kelas lahan. Penentuan kelas lahan harus memiliki rujukan, misalnya berdasarkan data dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).

Faktor kedua adalah kondisi kualitas tanaman menghasilkan, perbedaan bisa terjadi karena tingkat kedalaman inspeksi. Beberapa penilai hanya melihat tanaman yang ditunjukkan dan beberapa keliling lagi melihat tanaman lainnya lagi. Hal ini menjadi salah satu penyebab berbedanya Efektivitas Potensi Produksi (EPP) untuk menentukan Proyeksi Potensi Produksi (PPP) di masa akan datang hingga berakhir 1 siklus tanaman dalam 25 tahun.

Faktor ketiga adalah proyeksi produktivitas TBS untuk Tanaman Belum Menghasilkan (TBM). Beberapa mengatakan 100% disebabkan jumlah pokok yang 100% maka hal ini menjadi tidak adil jika dikurangi dari standar karena masih tanaman muda yang secara populasi dan perawatan pasti 100%. Namun beberapa penilai menetapkan berdasarkan EPP rata-rata realisasi tanaman yang telah menghasilkan (TM) disebabkan TBM tersebut juga berada dalam manajemen yang sama, dipastikan akan mengikuti para pendahulunya yakni EPP kelapa sawit yang telah menghasilkan (TM).

Faktor keempat adalah penentuan komposisi EPP yang pada umumnya bobot produksi 70%, kondisi tanaman diberi bobot 20% dan populasi diberi bobot 10%, ada yang memberi bobot dengan urutan 50%, 30% dan 20% dengan argumentasi bahwa jumlah bobot kondisi tanaman dan populasi harus berimbang dengan produksi, sedangkan ada yang membobot 100% historikal produksi sebagai angka menghitung EPP dengan asumsi bahwa produksi menggambarkan realisasi kondisi tanaman dan populasi yang sebenarnya.

Faktor kelima adalah biaya pemeliharaan, tanaman kelapa sawit menyerap pupuk saat ini namun akan terlihat hasilnya di TBS pada satu tahun mendatang. Jadi jika saat di tahun ke 25 (tahun terakhir) diberi pupuk lagi, maka hal ini akan menjadi sia-sia, namun biaya terkait pemeliharaan seperti menjatuhkan pelepah yang sudah saatnya dijatuhkan yang tidak berkenaan dengan pemupukan tetap dilakukan. Namun hampir rata-rata penilai dalam studi kasus melakukan perawatan pemupukan di tahun terakhir.

Faktor keenam adalah isu penentuan harga TBS. Beberapa menentukan harga TBS berdasarkan umur tanaman dan beberapa berdasarkan harga pasar TBS lokal setempat yang bersumber dari rata-rata harga TBS di Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) sekitar.

Faktor Ketujuh adalah kenaikan harga dan biaya, ada kesepakatan tidak tertulis antara penilai perkebunan bahwa harga dan biaya dinaikkan 5 tahun dan selanjutnya fix dengan argumentasi bahwa ekonomi kemungkinan bisa diproyeksi selama 5 tahun.

Faktor kedelapan adalah isu menentukan nilai tanah sisa (Land Residual Technique), beberapa tidak mengeluarkan biaya Insentif Entrepreneur disebabkan karena kebun kelapa sawit sudah terbangun, jadi Insentif Entrepreneur sebesar 10% terhadap laba bersih tidak dihitung, namun beberapa penilai menghitung Insentif Entrepreneur disebabkan dengan pemikiran bahwa dalam Teknik LRT seolah-olah kebun tersebut masih kosong dan akan dibangun yang menyebabkan biaya dari Insentif Entrepreneur pada Perkebunan kelapa sawit. Hingga hari ini perbedaan dua mahzab ini masih di perdebatkan.

Faktor kesembilan adalah terkait replanting. Untuk tanaman tua yang tanggal berproduksi 5 tahun  lagi atau dibawahnya, beberapa penilai melakukan asumsi replanting dengan Hak Guna Usaha (HGU) diperpanjang dan biaya perpanjangan dihitung dengan membuat proyeksi mengikuti 1 siklus tanaman, namun yang lainnya tidak melakukan replanting dan menghitung proyeksi sesuai umur HGU. Isu-isu penting lain yang mempengaruhi perbedaan nilai antara penilai perkebunan kelapa sawit antara lain tentang Salvage Value, penentuan inflasi, biaya transport/panen, penentuan harga TBS untuk menilai TBS yang di atas pohon dan discount rate untuk menilai TBS diatas pohon.

Leave a Reply