Perlindungan Hukum bagi Penilai

Narasumber : Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait, S.H.,M.Li

(Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara)

 

Sesuai dengan jadwal panitia Musyawarah Nasional (Munas) MAPPI XIII bahwa kegiatan sosialisasi calon sementara dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus – 9 September 2024. Calon Dewan Pimpinan Nasional (DPN) nomor urut 1 b’smar+way melakukan sosialisasi dengan cara mengadakan webinar berjudul “Perlindungan Hukum bagi Penilai” pada tanggal 24 Agustus 2024. Acara ini diikuti lebih dari 300 peserta online yang mengikuti acara melalui aplikasi zoom.

Acara dibuka dengan sambutan Budi Prasodjo sebagai calon Ketua Umum DPN MAPPI, untuk memberikan pemahaman hukum secara garis besar kepada para penilai dari b’smar+way bagaimana menerbitkan nilai sehingga sesuai standar dan UU yang berlaku. Webinar ini bertujuan untuk melindungi penilai dengan peningkatan kompetensi.

Narasumber utama acara ini adalah guru besar ilmu hukum Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.Ningrum Natasya Sirait, S.H.,M.Li selaku. Ningrum mengatakan bahwa kekhawatiran soal konsekuensi hukum ini juga terjadi pada profesi lainnya contohnya pada profesi dokter meskipun telah memiliki Undang-Undang (UU) tentang Praktik Kedokteran.

Ningrum menjelaskan bahwa ekosistem para penilai belum dipayungi oleh sebuah Undang-Undang (UU), tetapi punya landasan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 101/PMK.01/2014 tentang Penilai Publik dan perubahannya yang tertuang dalam PMK No, 56/PMK.01/2017. Menurutnya, PMK sekaligus perubahannya ini yang mendasari penilai serta perlu disimak dan diikuti para penilai (berizin), yang memiliki kantor penilai publik (KJPP) atau para penilai yang bergabung dalam kantor penilai, hingga para pengguna jasa penilai. Dirinya mengingat, segala kegiatan penilai harus mengacu standar keahlian yang ada, salah satunya ada Standar Penilaian Indonesia (SPI).

Tanpa undang-undang khusus yang mengatur profesi Penilai, ada ketidakpastian hukum yang bisa menimbulkan risiko bagi Penilai, terutama jika terjadi sengketa hukum yang melibatkan hasil penilaian. PMK memberikan kerangka yang berguna, namun tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan UU.

Penilai lebih rentan terhadap tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata, karena tidak ada UU yang secara eksplisit melindungi mereka. Misalnya, ketentuan mengenai sanksi administratif dalam PMK 228/PMK.01/2019 memberikan ruang bagi penerapan sanksi, namun tidak memberikan mekanisme pembelaan yang kuat seperti yang akan ada dalam UU.

Dalam situasi hukum yang kompleks, kurangnya UU khusus dapat membuat Penilai kesulitan dalam pembelaan diri, terutama ketika berhadapan dengan tuntutan yang tidak beralasan atau tidak proporsional.

Mitigasi Risiko Tanpa UU Penilai

  1. Kepatuhan ketat terhadap SPI dan KEPI

Penilai harus selalu mematuhi SPI dan KEPI untuk memastikan bahwa mereka bekerja sesuai dengan standar yang diakui secara hukum dan profesional.

  1. Penguatan Peran Asosasi

Asosiasi Profesi Penilai, seperti MAPPI, perlu berperan lebih aktif dalam memberikan advokasi dan perlindungan hukum bagi anggotanya. Mereka juga bisa mendorong penguatan regulasi dan memperjuangkan terbentuknya undang undang khusus.

  1. Asuransi Profesional

Penilai sebaiknya mempertimbangkan untuk mengambil asuransi profesional sebagai perlindungan ambaban terhadap risiko hukum. Ini bisa memberikan perlindungan finansial dan hukum jika terjadi sengketa.

  1. Konsultasi Hukum

Dalam kasus-kasus yang kompleks atau berisiko tinggi, Penilai sebaiknya berkonsultasi dengan ahli hukum untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak melanggar hukum yang ada.

Kedudukan Hukum Terhadap Opini Penilai

  1. Penilai Pertanahan (UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum)
  2. Penilai pada Sektor Jasa Keuangan (UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan)
  3. Penilai dalam Kegiatan Pasar Modal (POJK No. 40 Tahun 2019 dan POJK No. 68/POJK.04/2017 Tentang Penilai yang melakukan kegiatan di Pasar Modal) 

Pada hakikatnya sesuai dengan SPI dan KEPI di Indonesia, seorang penilai wajib memberikan penilaian yang independen dan objektif. Hal ini didasarkan pada profesi penilai yang juga mengemban kepercayaan dari masyarakat.

Penilai yang memberikan opininya terkait suatu proyek yang dimana dalam tugasnya bersinggungan dengan kepentingan umum, memiliki potensi merugikan negara jika tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Penilai yang melakukan kegiatan penilaian tidak berdasarkan pada Kode Etik Penilai (KEPI) dan SPI maka penilai tersebut telah melakukan malpraktik. Adapun malpraktik profesi penilai yang dapat ditemui dapat berbentuk (Emirzon, 2000):

  1. Penyembunyian informasi/data sehingga mengakibatkan laporan penilaian tidak objektif;
  2. Kekhilafan dan kelalaian penilaian sehingga menghasilkan laporan penilaian yang tidak wajar atau tidak menurut metode dan prosedur penilaian yang berlaku umum/ditetapkan oleh masyarakat profesi penilai;
  3. Pembajakan data/informasi dari sumber lain sehingga meragukan akurasi dari laporan penilaian.

Jika hal tersebut merugikan kepentingan umum, maka hal ini dapat memasuki ranah hukum pidana yang menganut asas ultimum remidium, hal ini berarti hukum pidana adalah jalan terakhir dalam menyelesaikan suatu perkara.

Terhadap perkara yang menyangkut profesi, hal ini juga dapat bersinggungan dengan peran etika profesi sehingga, sering sekali sulit dalam membuktikan apakah tindakan yang dilaksanakan oleh seseorang dalam hal ini adalah profesinya telah melakukan tindak pidana.

Dalam penentuan tindak pidana di bidang profesi ini, harus ditinjau kembali ke dalam teori pertanggungjawaban pidana. Apakah suatu tindakan yang dilakukan dalam lingkup profesi tersebut memenuhi perbuatan tindak pidana dan terdapat kesalahan di dalamnya sehingga dalam hal ini penilai dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana.

Sementara itu, narasumber kedua Dina Smaragdina yang juga calon Ketua  DPN memaparkan sejumlah hal. Dina menegaskan bahwa ketika seorang penilai mendapati masalah terdapat fokus pemeriksaan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) yakni terkait kompetensi penilai, penerapan SPI, data pembanding, adanya mensrea unsur dan sumber data.

Sejumlah Hal yang Disidik APH

  • 1. Proses Pra Penugasan
  • 2. Kompetensi Penilai
  • 3. Kontrak (SPI 103)
  • 4. Referensi Biaya/Fee (Standar Imbalan Jasa)
  • 5. Proses Penilaian
  • 6. Inspeksi Lapangan (SPI 104)
  • 7. Data Input
  • 8. Data Banding dan Sumbernya
  • 9. Nilai/Hasil
  • 10. Laporan Penilaian (SPI 105)
  • 11. Mensrea (Niat)

Narasumber ketiga Wahyu Mahendra yang juga calon Ketua DPN mengatakan bahwa pada intinya perlindungan hukum adalah tantangan yang berat bagi asosiasi. Usaha pemberlakuan UU Penilai dan peran asosiasi untuk melindungi penilai membutuhkan konsep dan pelaksanaan yang jelas.

Leave a Reply