Jaminan Dirampas Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi, Alek Prabudi Tegaskan Penilai Harus Lebih Waspada dalam Penugasan Lelang Eksekusi

Dalam pelaksanaan kegiatan perbankan, Penilai menjadi salah satu pihak terafiliasi yang memberikan jasa untuk penjaminan utang dan lelang eksekusi atas debitur yang wanprestasi. Jika objek hak tanggungan dan/atau  jaminan fidusia debitur diambil oleh negara karena terkait pidana korupsi, kenapa jarang sekali Penilai yang mau ambil penugasan pelaksanaan lelang eksekusi tersebut?.

Pertanyaan tersebut seakan menarik perhatian Alek Prabudi, selaku Advokat sekaligus Penilai Publik. Ia akhirnya melakukan riset dan menuangkannya ke dalam artikel dengan tajuk ‘Objek Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia Dirampas oleh Negara dalam Kaitan Terjadinya Suatu Tindak Pidana Korupsi, Bagaimana Kedudukan hukum Kreditur dan Profesi Penilai dalam Pelaksanaan Lelang Eksekusi’.

Terdapat suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada saya oleh seorang Advokat di Medan. Kenapa Penilai pada Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) tidak bersedia melakukan penilaian terhadap kreditur yang jaminannya disita oleh negara akibat terjadinya tindak pidana korupsi. Waktu itu saya menjawab, bahwa tidak bersedia didasarkan pada kondisi kekhawatiran berhadapan dengan aparat penegak hukum. Selanjutnya pada suatu webinar yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) di awal tahun 2024, terdapat pertanyaan peserta terkait kedudukan hukum Penilai dalam melakukan penilaian aset yang dimohonkan oleh Bank, namun aset tersebut dirampas oleh negara karena terdapatnya tindak pidana korupsi. Pertanyaan tersebut dialihkan kepada Saya ketika itu oleh Bapak Budi Prasodjo (i.c. Pemateri). Saya menjawab, “Mohon Saya diberikan waktu untuk menelaah dan menyampaikan jawaban dalam bentuk karya tulis”. Itulah permulaan saya melakukan telaah dan analisis hukum sehingga tulisan itu saya terbitkan sekitar triwulan pertama 2024,” ucap Alek.

Dalam peristiwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh debitur dan mengakibatkan kerugian keuangan negara, berdasarkan pasal 18 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yaitu : (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai pidana tambahan adalah :

  1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

Pasal tersebut menjelaskan adanya kewenangan negara untuk melakukan perampasan atas suatu barang bergerak dan tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari suatu tindak pidana korupsi. Hal itu memang dilakukan demi mengganti kerugian keuangan negara, namun implementasi perampasan itu menurut Alek seakan mengabaikan para pihak yang beritikad baik yang juga memiliki hak atas harta rampasan karena menjadi jaminan/ agunan pada lembaga keuangan (bank).

“Ketika terdapat kreditur yang jaminannya disita negara disebabkan terjadi tindak pidana korupsi, Penilai harus hati-hati dan lebih waspada dalam melihat penugasan secara kontekstual. Kalau sudah tahu ada proses hukum, Penilai harus menunggu keputusan yang berkuatan hukum tetap karena kreditur atau bank, diberikan kewenangan untuk mengajukan keberatan,”  ucapnya.

Alek menjelaskan, pengajuan keberatan oleh kreditur atau bank diatur oleh Undang-Undang kepada pengadilan yang bersangkutan untuk memutus perkara tindak pidana korupsi dalam hal dirampasnya objek hak tanggungan atau jaminan fidusia oleh negara, yaitu pada Pasal 19 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Dalam situasi seperti ini,  Penilai harus memperhatikan kapasitas hukum dalam penugasan yang diterima terhadap objek hak tanggungan dan/atau jaminan fidusia yang dirampas akibat terjadinya tindak pidana korupsi. Berpedoman pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, seorang Penilai dapat melakukan penugasan penilaian yaitu setelah terdapatnya penetapan hakim atas surat keberatan dari bank/ kreditur/ penjual terhadap objek hak tanggungan atau jaminan fidusia yang dirampas dalam kaitan terjadinya tindak pidana korupsi. Namun penuntut umum masih berpeluang untuk melakukan kasasi ke Mahkamah Agung atas penetapan hakim terhadap keberatan bank atau kreditur.

“Ada kondisi pengajuan keberatan itu tidak menghentikan proses hukumnya yaitu di pasal 19 ayat 3. Yang menarik di pasal 19 ayat 5, yaitu aparat hukum bisa mengajukan kasasi. Jadi kembali lagi kepada ruang proses hukumnya di Mahkamah Agung. Dalam konteks itulah saya harapkan Penilai tidak serta- merta menerima penugasan. Tunggu keputusan atas keberatan kreditur yang sifatnya inkrah. Jangan langsung terima tanpa memitigasi administrasi perkaranya. Hal ini butuh kejelian dan wawasan agar Penilai lebih aware,” ujarnya.

Jika seorang Penilai kurang hati-hati atau waspada dalam menerima penugasan dalam kasus tersebut, maka dia berpotensi dianggap melakukan obstruction of justice atau menghalangi proses hukum yang semestinya oleh penegak hukum. Namun menurut Alek, kondisi tersebut masih ada perdebatan, karena menurutnya dalam kacamata Penilai berdasarkan pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

“Penegak hukum punya perspektif obstruction of justice dan saya sebagai Penilai nggak melihatnya seperti itu berdasarkan pasal 33 ayat 1. Sedangkan kreditur adalah pihak yang punya itikad baik untuk membangun perekonomian nasional, makanya kalau menurut saya ini masih debatable,” tutur Alek.

Minimnya seorang Penilai mau melakukan penugasan lelang dalam konteks harta rampasan menurut Alek adalah karena profesi tersebut bukan yang kesehariannya berpraktik di bidang hukum atau mendalami ilmu hukum secara komprehensif. Kondisi itu membuat seorang Penilai punya keterbatasan dalam memahami lingkup persoalan khususnya yang memiliki subjek hukum lain seperti aparat penegak hukum.

“Dalam melakukan praktik Penilaian yang kita sadari, jika ada singgungan-singgungan dengan aparat penegak hukum, lakukan mitigasi, pahami KUHP, itu salah satu kriteria yang paling mungkin agar tidak terjebak di lingkaran carut-marutnya masalah hukum. Contohnya seperti menunggu keputusan keberatan yang sudah berkekuatan hukum tetap dari MA,” tutup Alek.

Klik link ini untuk membaca artikel Alek Prabudi berjudul OBJEK HAK TANGGUNGAN DIRAMPAS OLEH NEGARA DALAM SUATU TINDAK PIDANA KORUPSI v1

Leave a Reply