Penilai Publik Sangat Perperan Dalam Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual
Jakarta – Profesi Penilai kian perperan dalam berbagai aspek keuangan, salah satunya yakni skema pembiayaan yang berbasis kekayaan intelektual (KI). Hal tersebut terungkap dalam International Training Intellectual Property (IP) Valuation Course pada Senin, 21 April 2025 di Ibis Styles Serpong BSD City, Jakarta.
Direktur Pengembangan Fasilitas Kekayaan Intelektual Deputi Bidang Pengembangan Strategi Ekonomi Kreatif Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif, Muhammad Fauzy mengatakan bahwa Penilai sangat dibutuhkan dalam proses valuasi KI.
“Penilai yang paling mengetahui metode valuasi dari KI, mana metode pendekatan yang paling tepat yang akan digunakan untuk menilai sebuah KI. Apakah menggunakan pendekatan pasar, pendekatan biaya, pendekatan pendapatan, atau pendekatan yang lain,” ujar Fauzy dalam forum training tersebut.
Lebih lanjut Fauzy menjelaskan bahwa sebagaimana PP No. 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif, untuk mengajukan pembiayaan terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan. Persyaratan tersebut antara lain pengajuan proposal, memiliki usaha ekonomi kreatif (Ekraf), memiliki perikatan terkait KI produk Ekraf, serta memiliki surat pencatatan/sertifikat KI.
Pemohon yang memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI), sambung Fauzy, harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang. “Sebelum lembaga keuangan baik bank maupun non-bank menyetujui pembiayaan tersebut, ada campur tangan Penilai Kekayaan Intelektual di dalamnya yang akan menilai KI secara obyektif,” terangnya.
Untuk menjadi Penilai KI juga harus memenuhi tiga kriteria. Pertama harus mengantongi izin penilai publik dari Kementerian Keuangan RI, kedua harus memiliki kompetensi bidang penilaian KI, dan ketiga yakni telah terdaftar di Kementerian Ekraf RI. Saat ini, pihaknya telah membuat rancangan Peraturan Menteri Ekonomi Kreatif tentang Penilai Kekayaan Intelektual.
Sementara itu Direktur Kerja Sama, Pemberdayaan dan Edukasi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Republik Indonesia, Yasmon menekankan tentang tindak pelanggaran hak cipta. Yasmon menjelaskan apabila ada pihak lain yang menggunakan hak cipta maka pihak yang memiliki hak cipta tersebut dapat menegur secara langsung kepada terduga pelanggar. “Atau bisa juga melaporkannya kepada Kepolisian RI atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Ditjen kekayaan Intelektual,” ujarnya.
Guna mengantisipasi munculnya pelanggaran, Yasmon menyarankan agar meminta izin untuk menggunakan karya milik pencipta karya tersebut. Supaya lebih jelas, maka perlu dibuat perjanjian secara tertulis yang menjelaskan tentang apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak baik pencipta maupun pengguna ciptaan.
Dalam sesi yang sama, Dwi Anita Daruherdani selaku Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI) menjelaskan tentang merek, paten, hak cipta, desain industri serta rahasia dagang dan sebagainya.
Agar kekayaan intelektual lebih bernilai ekonomi, lanjut Dwi, maka selain digunakan sendiri, kekayaan intelektual juga dapat bernilai ekonomi dengan memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan secara keseluruhan maupun per bagian dengan imbalan tertentu yang telah disepakati.
“Bisa juga dengan penggunaan secara bersama dengan pihak lain yang memiliki kekayaan intelektual juga, atau dijual kepada pihak lain dengan menerima kompensasi dalam jumlah tertentu.”
Ketua Komite Standar Penilaian Indonesia (KPSPI), Hamid Yusuf, dalam forum training IP antara lain memaparkan tentang ekspos Standar Penilaian KI untuk Tujuan Penjaminan Utang (SPI 321) yang selama ini telah dikerjakan oleh tim KPSPI.
Hamid juga menjelaskan tentang pendekatan dan metode yang tepat untuk penilaian aset tak berwujud. Dalam paparannya, ia menjelaskan selain tiga pendekatan yang biasanya dipakai dalam penilaian aset, yakni pendekatan pasar, pendapatan dan biaya, ada pendekatan dan metode lain yang dapat digunakan yakni Metode Alternatif.
Ari Juliano Gema, pengacara yang juga menjadi narasumber pelatihan mengatakan bahwa setidaknya ada tiga fase pengelolaan kekayaan intelektual. Fase pertama adalah kreasi , fase kedua proteksi dan fase ketiga yakni komersialisasi.
Terkait dengan fase kedua yakni fase proteksi atau perlindungan, imbuh Juliano, antara lain dapat ditempuh dengan jalan pendaftaran/pencatatan hak kekayaan intelektual (HKI), program perlinsungan rahasia dagang, pemantauan HKI kompetitor, serta Upaya hukum terhadap pelanggaran HKI.
“Untuk jenis merek masa perlindungannya 10 tahun. Sedangkan hak paten selama 20 tahun. Sedangkan hak cipta masa perlindungannya secara umum seumur hidup ditambah 70 tahun sejak penciptanya meninggal dunia,” papar Juliano.
International Training Intellectual Property (IP) Valuation Course diselenggarakan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) dan diikuti oleh ratusan peserta yang berprofesi sebagai Penilai. Diselenggarakan selama dua hari mulai Senin-Selasa (21-22/4) di Ibis Styles Serpong BSD City, Jakarta.
Penulis : Farid Syah
Editor : Amandus Jong Tallo
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi