Bagaimana Penerapan Undang-Undang Penilai di Tiga Negara Asia Ini?
Jakarta – Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) menggelar seminar internasional bertajuk Indonesia Valuation Act International Seminar (IVAIS) 2025 pada Selasa (20/05/2025) lalu dengan menghadirkan tiga narasumber dari mancanegara.
Ketiga narasumber tersebut yakni Dr. Lim Lan Yuan – President Singapore Institute of Surveyors Valuers (SISV), Dato’ Mani Usilappan – Former Director General Valuation Property Services Department, Ministry of Finance Malaysia dan Duong Lan Anh – Deputy Head of Valuation Management Division Price Management Department, Ministry of Finance Vietnam.
Sesi pemaparan materi dari para panelis mancanegara ini dipandu oleh Okky Danuza, penilai publik yang juga Ketua Komite Ujian Sertifikasi Penilai (KUSP). Masing-masing pembicara memaparkan tentang gambaran regulasi undang-undang penilai yang dilaksanakan di ketiga negara tersebut.
Dr. Lim Lan Yuan mengatakan bahwa ada dua komponen utama dalam penilaian di Singapura, yakni komponen lisensi profesi yang dikeluarkan oleh Pengawas Pajak Properti, Kementerian Keuangan Singapura dan komponen regulasi profesi yang diatur oleh SISV.
Menurut Lim, undang-undang penilai di Singapura yang lebih dikenal dengan sebutan Appraisers Act 1906 telah mengalami penyesuaian dan revisi terbaru pada 2020 lalu.
“Setiap orang yang menjalankan usaha atau bisnis penilaian tanpa memiliki izin, akan dikenai pelanggaran dan jika terbukti bersalah akan dikenakan denda paling banyak $2.000 (setara Rp 25.400.000)” ujar Lim di hadapan 1.500 peserta webinar di ruang zoom meeting.
Kementerian Keuangan Singapura juga dapat menolak permohonan, perpanjangan dan membatalkan izin setiap orang yang telah dihukum karena pelanggaran apa pun berdasarkan undang-undang atau yang gagal mempertanggungjawabkan atau tidak membayar denda sebagai orang berlisensi.
Sedangkan regulasi tentang etika, kode etik, riset, pelatihan, serta pengembangan profesi diatur oleh asosiasi SISV.
Lain halnya dengan regulasi profesi penilai di Malaysia. Profesi penilai di Negeri Jiran tersebut diatur secara resmi di bawah UU Penilai, Penaksir, Agen Real Estat dan Properti 1981 (Akta 242), yang sebelumnya berada di bawah UU Surveyor 1976.
Secara umum UU penilai di Malaysia mengatur dua cakupan utama. Pertama mengatur cakupan penilaian dan layanan properti yang dikerjakan oleh Direktorat Jenderal Penilaian dan Jasa Properti di bawah Kementerian Keuangan Malaysia. Dan kedua yakni mengatur jasa penilaian dan layanan properti sektor swasta bagi penilai non-pemerintah.
Dato’ Mani Usilappan mengatakan bahwa dalam UU penilai di Malaysia terdapat dewan penilai. Dewan ini antara lain mengatur tentang ujian kelayakan, menentukan skala biaya jasa, mengatur etika profesi, menyelesaikan sengketa profesi, menerbitkan sertifikat praktik jasa penilaian, menerbitkan laporan, menyusun kode etik, Malaysian Valuation Standards (MVS) dan sebagainya.
“Undang-undang juga mengatur tentang penyimpanan dokumen minimal enam tahun, serta sanksi pelanggaran etika profesi. Apabila ada kesalahan dalam memberikan nilai maka bisa berujung pada sanksi perdata, pencabutan lisensi, atau bahkan tuntutan pidana jika terbukti ada tindakan penipuan,” kata pria yang akrab disapa Pak Mani ini.
Sementara di Vietnam, praktik jasa penilaian diatur pada bab tersendiri dalam Undang-Undang Harga tahun 2023 (Law on Price 2023). Bab tentang penilaian itu berisi soal tiga bahasan, yakni terminologi penilaian, praktik penilaian dan pemeriksaan dan pengawasan terhadap kepatuhan peraturan yang berlaku.
Dalam kesempatan yang sama, Duong Lan Anh dari Kementerian Keuangan Vietnam mengatakan bahwa untuk mendapatkan lisensi penilai, seseorang setidaknya harus mengantongi pengalaman minimal 36 bulan bekerja di kantor jasa penilai swasta maupun negeri, atau pengalaman bekerja di jasa penilaian minimal 24 bulan bagi sarjana terapan penilaian.
Duong juga menyebut bahwa undang-undang di Negeri Naga Biru itu juga mengatur tentang hak dan kewajiban penilai dan kantor jasa penilaian, sertifikasi, sanksi dan pencabutan izin usaha, standar penilaian, prinsip penilaian, jenis kegiatan penilaian dan sebagainya.
Akselerasi RUU Penilai
Ketua Umum MAPPI, Budi Prasodjo mengatakan bahwa akselerasi RUU Penilai secara nasional ini adalah suatu hal yang mendesak untuk mendukung sejumlah proyek strategis nasional (PSN). Dengan adanya UU Penilai maka para penilai di Indonesia dapat mencapai standar global dan bertaraf dunia sebagaimana para narasumber mancanegara jelaskan.
“Kami berharap adanya kolaborasi antarlembaga baik di asosiasi, kementerian, DPR maupun KJPP dalam mengupayakan akselerasi RUU Penilai ini, dengan harapan agar posisi Indonesia dalam ekonomi global juga semakin meningkat. Sudah 44 tahun tapi belum juga ada UU Penilai,” kata Budi.
Hal serupa juga diungkapkan Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan, Erawati. Dalam sambutannya, dia mengatakan bahwa tanpa regulasi yang kuat maka penilai akan mudah mendapat tekanan dari berbagai pihak sebab belum memiliki rujukan hukum yang jelas.
“Bukan hanya menjamin akuntabilitas, adanya Undang-Undang Penilai juga turut membangun sistem keadilan yang berorientasi pada kepentingan publik serta memperkuat landasan penilai di Indonesia. Jadi bukan hanya aspek teknis, tapi juga menghadirkan regulasi yang setara dengan undang-undang,” pungkas Erawati.
Seminar internasional bertema “Strengthening and Accelerating Valuation Profession Act (RUUP) as a Part of Public Protecting” yang diselenggarakan oleh MAPPI ini bertujuan untuk menggaungkan kembali RUU Penilai di mata publik dan para stakeholders agar RUU ini segera disahkan menjadi undang-undang.
Lebih dari 1.000 peserta yang terdiri dari para penilai KJPP, penilai internal bank, penilai pemerintah, mahasiswa dan masyarakat umum hadir dan menyaksikan seminar yang dikonsep secara daring ini.
Penulis : Farid Syah
Editor : Eka Vanda
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi