Penilai Rawan Diintervensi, UU Penilai Digadang-gadang Menjadi Solusi
Jakarta – Belum adanya perundang-undangan khusus yang mengatur tentang penilai membuat penilai di Indonesia rentan untuk diintervensi oleh pihak mana pun dalam melaksanakan tugas penilaian. Oleh karena itu, penilai membutuhkan kepastian hukum yang setara dengan undang-undang untuk melindungi penilai beserta proses penilaian yang dikerjakannya.
Ketua Tim Penyelaras RUU Penilai, Hamid Yusuf mengatakan bahwa beberapa profesi pada sektor keuangan sudah memiliki undang-undang tersendiri. Namun profesi penilai yang juga salah satu profesi di bidang keuangan belum memilikinya.
“Misalnya wartawan dalam mencari berita dilindungi oleh undang-undang. Jadi kalau wartawan ada yang mengintervensi, bisa lapor. Kalau kami (penilai) tidak. Klien ngasih data alhamdulillah, kalau enggak ngasih tidak apa-apa. Tidak ada tekanan. Kalau di Malaysia, klien enggak ngasih data bisa dipenjarakan karena sama saja menghalang-halangi penilai untuk mencari data. Kalau di Indonesia, penilainya yang dipenjara,” ujar Hamid Yusuf di sekretariat Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) di 18 Office Park Jl. TB Simatupang Kav. 18, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Kendati PMK 101/2014 yang merupakan peraturan tertinggi yang mengatur tentang Penilai Publik, hingga saat ini peraturan menteri tersebut dinilai tidak cukup. Padahal penilai sering disebut dalam beberapa undang-undang lain, seperti UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, dan sebagainya.
Dalam UU tersebut meregulasikan keterlibatan penilai untuk memberikan opini nilai terhadap harta kekayaan seseorang. Namun status penilai di UU tersebut hanya sebagai pengguna.
“Contoh di perbankan, siapa pun yang mau ambil kredit di bank harus ada agunan. Yang menentukan nilai agunan wajib oleh penilai. Memang nilai ini hanya angka di kertas, tetapi nilai itu dipakai untuk membuat kebijakan satu bank. Misalnya satu bank bangkrut maka jadi sistemik semua bank jadi kena. Terlebih di UU Cipta Kerja, penilaian itu final dan mengikat. Jadi kalau penilai bilang nilainya 1.000 maka harganya juga 1.000, tidak boleh diubah. Kalau tidak setuju silakan banding ke pengadilan,” terang Hamid.
Pengaruh Dinamika Politik
Sementara itu, Sekretaris Tim Penyelaras RUU Penilai, Dedy Mohamad Firmanto mengatakan bahwa dinamika politik di Indonesia, seperti pemilihan umum (Pemilu) 2024 lalu sangat mempengaruhi urgensi pengesahan RUU Penilai oleh DPR RI.
Dedy menjelaskan bahwa pada tahun 2024 RUU Penilai berhasil masuk dalam Prolegnas prioritas untuk dibahas dalam rapat paripurna DPR. Namun karena saat itu sudah masuk tahun politik, maka RUU Penilai belum sempat dibahas. “Mereka (anggota DPR) sudah tahu RUU Penilai ada di prolegnas prioritas. Ini yang menjadi PR kita bersama ke depan untuk mengontrol RUU Penilai agar menjadi pembahasan di DPR,” papar Dedy.
Pada tahun yang sama, RUU Penilai ternyata sudah tidak menjadi isu yang hangat di DPR sehingga disinyalir tidak akan menjadi skala prioritas. Apabila RUU Penilai tidak masuk dalam skala prioritas maka bisa berakibat RUU ini tidak akan menjadi pembahasan di DPR.
Lantaran terdapat dinamika politik di tubuh DPR, sambung Dedy, maka perlu dilakukan penyesuaian kembali. Penyesuaian yang dimaksud antara lain setelah RUU Penilai masuk ke badan legislatif, maka perlu disertakan surat dari presiden agar RUU Penilai dibahas di DPR.
“Kami mengajak untuk merapatkan barisan kembali agar RUU Penilai ini bisa masuk ke prolegnas prioritas di tahun 2025 ini. Semuanya sudah clear. Kita sudah bertahun-tahun memperjuangkan dengan biaya yang tidak sedikit juga. Itu harus kita pertanggungjawabkan juga,” tandasnya.
Penulis : Farid Syah
Editor : Eka Vanda
Like, Comment, Share akan sangat membantu publikasi