Perlunya Majelis Etik untuk Menyelesaikan Sengketa Profesi

Surabaya – Penilai memerlukan majelis etik dan peradilan penilaian untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang terkait dengan profesi penilai. Hal tersebut antara lain terungkap dalam dialog interaktif profesi bertajuk “Penguatan Aspek Perlindungan Hukum dari Tindakan Intervensi dan Diskriminatif bagi Profesi Penilai Indonesia” yang berlangsung di Mövenpick Surabaya City, Kota Surabaya, Jawa Timur pada Rabu (25/06/2025).

Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Penilai (RUUP), Hamid Yusuf mengatakan bahwa adanya majelis etik dan peradilan penilaian tersebut adalah untuk memperkuat legalitas dan ketertiban kerja profesi penilai.

Hamid yang juga Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) menilai bahwa ketidakfahaman publik terhadap profesi penilai dan cara penilai bekerja menjadi salah satu sumber utama permasalahan hukum. Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar RUUP yang merupakan undang-undang khusus tentang profesi penilai ini segera terwujud.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (DPN MAPPI), Budi Prasodjo mengungkap bahwa hingga Mei 2025 telah tercatat 53 jenis pengaduan terhadap penilai. Pengaduan tersebut terutama mengenai kasus pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan lelang.

“Mayoritas laporan berasal dari aparat penegak hukum (APH), kantor jasa penilai publik (KJPP), institusi perbankan dan pemerintah,” terang Budi.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, S.H., M.Hum menyoroti pentingnya profesionalitas serta kepatuhan penilai terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 101/2014 tentang Penilai Publik, Standar Penilaian Indonesia (SPI) dan Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI).

Pakar Hukum Pidana Korupsi tersebut juga menjelaskan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh penilai lantaran adanya intervensi dari pengguna jasa juga dapat berujung pada sanksi etik, administratif hingga pidana. “Terutama jika terbukti ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam penggunaan data,” papar Nur Basuki.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kabagbinops Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, AKBP Mualimin. Dia menekankan pentingnya verifikasi terhadap data pembanding serta prosedur kerja penilai.

Menurut Mualimin, kendati tugas penilai didasarkan pada perikatan kerja, namun pelaksanaannya tetap harus mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku. Terlebih lagi perlindungan hukum terhadap profesi penilai belum secara tegas diatur dalam undang-undang sehingga pihaknya mendorong supaya penilai mencantumkan dasar regulasi secara eksplisit dalam kontrak.

Dialog interaktif yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Daerah (DPD) MAPPI Jawa Timur ini juga diikuti oleh sebanyak 180 peserta secara online via zoom meeting dan 50 peserta yang hadir di di Mövenpick Surabaya City.

 

Pewarta : Deasy Ramadhani

Penulis : Farid Syah

Editor : Eka Vanda

Leave a Reply