MAPPI dan WIPO Sepakat Membuat Proyek Percontohan Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual

Jakarta—Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) dan World Intellectual Property Organization (WIPO) menyepakati akan membuat pilot project (proyek percontohan) untuk pembiayaan berbasis kekayaan intelektual (KI) di Indonesia. Hal tersebut terungkap dalam dinner meeting bertema “Potential Collaborating in Developing the Intellectual Property Financing Ecosystem” yang digelar di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu (5/11/2025).

Pertemuan yang diinisiasi oleh MAPPI ini dihadiri perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum, Kementerian Ekonomi Kreatif, Himpunan Bank Negara (HIMBARA), WIPO serta Penilai Publik. Dalam perjamuan makan malam itu para peserta antara lain membahas tentang peluang kolaborasi lintas lembaga untuk menjadikan KI sebagai aset yang diakui dalam sistem pembiayaan nasional.

IP Finance and Valuation Specialist dari WIPO, Michael Kos menegaskan bahwa aset tak berwujud seperti merek, perangkat lunak dan data, nilai korporasinya di pasar global kini mencapai 90 persen atau sekitar USD 80 triliun dibandingkan aset fisik.

“Investasi pada aset tak berwujud tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan aset fisik,” ujarnya.

Namun ia menggarisbawahi bahwa UMKM masih kesulitan memperoleh pinjaman bank karena lembaga keuangan belum memahami cara menilai dan memulihkan nilai dari aset KI. Kesenjangan itu khususnya masih sering terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.

Berdasarkan Global Innovation Index 2025, Indonesia kini berada di posisi ke-55 dunia dengan intensitas aset tak berwujud mencapai 75,6 persen. Hal ini juga menegaskan bahwa Indonesia termasuk dalam 15 besar negara dengan proporsi aset non-fisik tertinggi terhadap total nilai perusahaan.

Namun besarnya potensi itu belum diimbangi dengan kemudahan akses pembiayaan yang memadai. Berdasarkan data IMF, lebih dari 70 persen dari 63 juta UMKM di Indonesia belum memiliki akses kredit perbankan. “Padahal sektor UMKM menyumbang 60 persen dari PDB dan menyerap 97 persen tenaga kerja,” ujar Michael.

Pembiayaan berbasis KI, menurutnya, bisa menjadi celah solusi pembiayaan yang selama ini menjadi penghambat pertumbuhan inovasi.

Michael menjelaskan, pembiayaan berbasis KI dapat menjadi jembatan antara sistem pinjaman tradisional dan modal ventura. Ia mencontohkan beberapa negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, Inggris dan Singapura yang telah berhasil menerapkan skema pembiayaan dengan jaminan KI. Meski demikian, ia menandaskan bahwa tantangan utamanya masih terletak pada proses valuasi.

“Metode yang belum konsisten, keterbatasan data dan perbedaan yurisdiksi membuat lembaga keuangan belum memiliki kepercayaan penuh,” katanya.

 

Kekhawatiran Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan yang tergabung dalam HIMBARA antara lain memberikan sejumlah catatan terkait dengan rencana skema pembiayaan berbasis KI. Beberapa catatan tersebut antara lain perlunya keberlanjutan dari implementasi kebijakan, sehingga tidak berhenti pada regulasi semata tetapi perlu dipikirkan juga terkait dengan skema penjaminan dan asuransinya.

HIMBARA juga memberikan masukan terkait dengan pentingnya sertifikasi Penilai KI dari Kementerian Ekonomi Kreatif guna menghindari risiko default. “Mekanisme valuasinya bagaimana jika skenario terburuk terjadi seperti penurunan nilai likuidasi, agar pengembalian kredit juga terjamin,” ujar Evan Zulkarnaen, Pimpinan Divisi Commercial Banking – Bank BNI.

Hal senada juga disampaikan Helmi Afrisa Nugroho, Direktur Corporate Banking – Bank BTN bahwa bank masih memerlukan jaminan berupa aset berwujud di tahap awal serta pedoman teknis dari OJK dalam penyaluran kredit. Ia juga menambahkan bahwa analisis pascavaluasi menjadi aspek yang lebih penting alih-alih proses penilaian itu sendiri.

 

Langkah Lanjutan

Rudi M. Syafrudin, Wakil Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) MAPPI mengusulkan adanya acuan Loan to Value (LTV) untuk pembiayaan berbasis KI.

Sebagai tindak lanjut, MAPPI dan WIPO dengan dukungan kementerian serta lembaga terkait akan menginisiasi proyek percontohan (pilot project). Proyek ini nantinya akan difokuskan pada proses asesmen, identifikasi dan valuasi KI yang berpotensi dijadikan agunan (collateral).

Kendati belum sampai pada tahap pencairan dana, proyek ini diharapkan menjadi fondasi awal dalam membangun kepercayaan lembaga keuangan terhadap pembiayaan berbasis KI di Indonesia.

WIPO juga telah meluncurkan instrument berupa IP Finance Pilot Project di kawasan ASEAN. Tujuannya adalah agar lembaga keuangan dapat mengidentifikasi calon penerima dana, sementara pakar strategi KI dan Penilai akan menilai portofolio KI mereka. Selanjutnya hasil dari pilot project itu akan menjadi acuan dalam keputusan pendanaan.

“Kami ingin menunjukkan bahwa pembiayaan KI bisa dipraktikkan, sehingga bisnis kekayaan intelektual di kawasan ASEAN meningkat,” pungkas Michael.

 

Penulis : Farid Syah

Editor : Eka Vanda

Leave a Reply