Desakan Moratorium Penilaian Pengadaan Tanah Menguat, MAPPI Diminta Ambil Sikap Tegas

Jakarta—Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) menggelar diskusi secara daring bertajuk Ngopi Pagi: Dinamika Permasalahan Hukum Penilai Pertanahan pada Jumat (21/11/2025). Forum yang dihadiri oleh sejumlah pengurus, penilai publik yang juga penilai pertanahan serta anggota MAPPI-T ini mengerucut pada satu isu utama, yakni desakan kuat agar MAPPI menerbitkan moratorium pekerjaan penilaian pengadaan tanah.

Ketua Kompartemen Penilai Pertanahan (KPP), Dzikri Ashary, membuka diskusi dengan paparan data mengenai kondisi penilai pertanahan. Dari 327 penilai pertanahan yang terdaftar di ATR/BPN, hanya 74 yang melaporkan kegiatan penilaian pengadaan lahan, dan hanya 24 di antaranya yang benar-benar mengerjakan pekerjaan tersebut.

Dalam polling internal yang diinisiasi KPP pasca-meningkatnya kasus hukum tahun 2025, sebanyak 88 persen dari 76 responden menyatakan setuju jika MAPPI mengeluarkan maklumat moratorium pekerjaan pengadaan tanah. Banyak yang menilai pekerjaan ini menjadi “bermata dua”, menjanjikan secara bisnis, tetapi menyimpan risiko hukum yang besar.

“Ada kontradiksi. Di satu sisi banyak yang mendukung moratorium namun pengajuan lisensi penilai pertanahan ke ATR/BPN baik yang baru maupun perpanjangan masih tinggi juga antusiasnya,” papar Dzikri.

Ketua Dewan Penilai MAPPI, Ihot Parasian Gultom, mengungkap fakta yang membuat para penilai semakin waspada, bahwa lima tahun terakhir ada 447 kasus yang masuk ke Dewan Penilai. Banyak penilai yang dijadikan tersangka, padahal tidak menerima gratifikasi atau aliran dana. Ia mencontohkan kecenderungan aparat penegak hukum (APH) yang menuduh penilai melakukan markup, meski sebagian pihak menganggap nilai yang dikeluarkan justru terlalu rendah. “Ini membingungkan,” lanjutnya.

Alek Prabudi menyatakan moratorium bukan hanya langkah strategis, melainkan juga politis. Moratorium ini juga menjadi instrumen untuk mempertanyakan kepedulian serius pemerintah terhadap profesi penilai.

Ia mengingatkan bahwa pembahasan RUU Penilai sudah berlangsung 15 tahun tanpa kemajuan berarti. Menurutnya, moratorium dapat menjadi alat untuk menghambat lahirnya yurisprudensi baru yang merugikan profesi penilai.

Pandangan lain datang dari Robinson Tampubolon. Ia mengimbau agar penilai pertanahan ‘tiarap’ dulu agar tidak ‘kena tembak’ APH sebab sudah banyak kejadian yang menimpa penilai pertanahan.

Robinson mengusulkan moratorium berlaku selama enam bulan. “Banyak penilai yang terseret kasus tanpa dasar kuat. Mungkin ada yang kehilangan pendapatan selama enam bulan dari pekerjaan pengadaan tanah ini, tapi setelah itu kita akan lebih baik.”

 

Risiko Hukum Semakin Mengancam

Beberapa peserta menyoroti pola APH yang cenderung menjadikan penilai sebagai pihak pertama yang dicari ketika terjadi kasus pengadaan tanah. Radian menilai yurisprudensi “liar” berpotensi terus berkembang jika tidak ada tindakan. Ia mencontohkan penilai yang dijadikan tersangka meski belum ada pembayaran, uang masih dikonsinyasi, atau bahkan belum ada kontrak.

“Kalau ini dibiarkan, yurisprudensi akan dipakai di mana-mana,” katanya. Ia mengusulkan moratorium segera diterapkan agar dana pengadaan lahan otomatis tidak terserap.

Henricus Judi Adrianto menilai bahwa masalah yang menimpa para penilai bagaikan fenomena gunung es karena banyak penilai yang tidak berani mengungkapkan dan melakukan koordinasi dengan asosiasi. Henricus juga setuju dengan moratorium sebab hal itu juga untuk menunjukkan eksistensi penilai publik sekaligus menguji kekompakan penilai.

Uswatun Khasanah mengaku setuju 100 persen dengan moratorium. Ia menambahkan bahwa penilai sering dijadikan tersangka meskipun belum ada kerugian negara. Agar hal itu tidak terulang terjadi, Uswatun mengimbau kepada seluruh penilai pertanahan untuk menguatkan aspek administratif.

Uswatun yang juga mantan Ketua DPD MAPPI D.I. Yogyakarta mengingatkan dampak lanjutan dari pemberlakukan moratorium, seperti kemungkinan penilai pemerintah mengambil alih pengadaan tanah skala kecil berdasarkan PP 39/2023 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Terkait dengan biaya non-fisik seperti Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) dan biaya notaris, menurut Johny Malela, adalah faktor yang sering ditanyakan oleh APH. Padahal faktor tersebut telah jelas diatur dalam Standar Penilaian Indonesia (SPI).

Johny setuju dengan moratorium agar dapat memberikan pelajaran kepada seluruh instansi pemangku kepentingan dan juga APH. “Adanya moratorium itu agar suara kita bisa didengarkan.”

Ade Rizki Pratama mengusulkan adanya roadmap agar moratorium bukan sekadar tindakan politis tanpa tujuan, tetapi juga sebagai langkah perbaikan dari penilai, MAPPI, DP dan lainnya, sehingga moratorium punya tujuan yang jelas. “Dengan adanya roadmap yang jelas, maka kami sebagai anggota pun ikut merasakan dampak yang jelas juga,” kata Ade.

 

Usulan Pendampingan Hukum hingga Judicial Review

Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia (KPSPI) MAPPI, Hamid Yusuf, menekankan bahwa moratorium tidak dimaksudkan sebagai boikot, melainkan sebagai shock effect. “Ada ketidakpedulian pemerintah terhadap penilai,” katanya.

Hamid mendorong MAPPI membuka komunikasi resmi dengan Kejaksaan Agung dan mengadukan masalah ini ke DPR, sesuatu yang menurutnya belum pernah dilakukan MAPPI sebelumnya.

Beberapa peserta juga mendorong pembentukan lembaga bantuan hukum internal, judicial review terhadap UU 2/2012 maupun aturan turunannya, serta revitalisasi mekanisme pendampingan di setiap kasus yang menimpa penilai.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) MAPPI, Budi Prasodjo, menegaskan bahwa suara anggota MAPPI telah mengarah kuat pada perlunya tindakan konkrit. Budi menyimpulkan bahwa secara garis besar perlu menyusun sebuah tindakan bukan hanya moratorium, tetapi juga langkah-langkah selain moratorium.

Pihaknya berencana membentuk tim kajian moratorium yang melibatkan berbagai unsur dari Pusat Advokasi dan Kajian Hukum (Pusadkahum), penilai pertanahan, KPSPI, Dewan Penilai, dan Ikatan Kantor Jasa Penilai Publik (IKJPP) untuk merumuskan langkah moratorium dan selain moratorium.

DPN juga akan menjalin komunikasi dan audiensi kembali ke ATR/BPN, DPR, DPPPK, PUPR, hingga kantor kepresidenan, serta menjalin komunikasi lebih intensif dengan kejaksaan, polda maupun Mahkamah Agung (MA).

Ketua Pusadkahum, Fauzan Ananda, menangkap bahwa kecenderungan usulan dari diskusi dengan penilai pertanahan adalah menginginkan moratorium. Namun ia menilai bahwa perlu memperhalus alasan dan tujuan dan moratorium, atau bahkan timing, target dan hal-hal lainnya. “Semua itu harus kita perjelas sebelum kita melangkah ke action lebih lanjut.”

Diskusi ditutup dengan pernyataan dari Dzikri Ashary bahwa rekomendasi dari para anggota akan diobservasi lebih lanjut sebab moratorium bukan hanya tindakan, tetapi juga bargaining position penilai pertanahan dan MAPPI kepada pemerintah. “Kita membantu pembangunan nasional, tapi jangan sampai penilai dikriminalisasi,” pungkasnya.

 

Penulis : Farid Syah

Penyunting : Eka Vanda

Leave a Reply